Follow Us

Berani Periksa Menteri dan Jenderal yang Diduga Korupsi, Inilah Sosok Jaksa Agung yang Pernah Menentang Perintah Soekarno: Nasibnya Berakhir Tragis

Bayu Dwi Mardana Kusuma - Senin, 02 Desember 2019 | 07:01
Upacara pelantikan Ir. Soekarno sebagai Presiden R.I.S. oleh Mahkamah Agung Mr. Kusumah Atmadja tgl. 17/12/1949
dok. Internet

Upacara pelantikan Ir. Soekarno sebagai Presiden R.I.S. oleh Mahkamah Agung Mr. Kusumah Atmadja tgl. 17/12/1949

Fotokita.net - Pada 22 Juli 1967, R. Soeprapto ditetapkan sebagai Bapak Korps Kejaksaan berdasarkan Surat keputusan Jaksa Agung Maijen Sugih Arti No. Kep. 061/DA/7/1967.

Keputusan tersebut didasari atas jasa Soeprapto di bidang penegakan hukum dan undang-undang.

Soeprapto dianggap gigih dalam memberantas semua hambatan dalam penegakan hukum.

Yang terpenting adalah semasa menjabat sebagai Jaksa Agung, sifat kebapakannya sangat dirasakan oleh hampir setiap orang yang berada di bawah pimpinannya.

Hari ini 55 tahun lalu, R Soeprapto, Bapak Kejaksaan Republik Indonesia meninggal dunia pada 2 Desember 1964.

Baca Juga: Setia Kawal Kepala Negara, Begini Lika-liku Paspampres Sejak Era Soekarno. Salah Satunya, Suasana Tegang Bareng Presiden Soeharto di Bosnia!

R Soeprapto menjabat sebagai Jaksa Agung selama sembilan tahun sejak 2 Desember 1950 hingga 4 Juli 1959.

Hingga saat ini, R Soeprapto menjadi satu-satunya Jaksa Agung yang menjabat selama sembilan tahun.

Dilahirkan pada 27 Maret 1897, Soeprapto sudah bekerja sebagai griffier (panitera) di Pengadilan Negeri (PN) Tulungagung di usia yang masih sangat muda, yaitu 19 tahun.

R Soeprapto menjabat sebagai Jaksa Agung selama sembilan tahun sejak 2 Desember 1950 hingga 4 Juli 1959.
dok. Internet

R Soeprapto menjabat sebagai Jaksa Agung selama sembilan tahun sejak 2 Desember 1950 hingga 4 Juli 1959.

Dikutip dari Harian Kompas, 1 Juli 1970, Soeprapto diangkat sebagai voorzitter pada Landraad Banyuwangi, Singaraja, Bali, dan Lombok pada tahun 1920 hingga 1929.

Ia juga pernah menjadi hakim di Salatiga dan Pekalongan pada tahun 1941-1942. Sebelum diangkat sebagai Jaksa Agung, Soeprapto terlebih dahulu diangkat menjadi hakim anggota sekaligus merangkap sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Yogyakarta pada tahun 1948.

Pada 20 Juli 1950, Presiden Soekarno mengangkatnya sebagai Hakim Agung pada Mahkamah Agung. Lima bulan setelah menjadi Hakim Agung, Soeprapto diangkat menjadi Jaksa Agung melalui Keputusan Presiden No. 64 pada 2 Desember 1950.

Baca Juga: Jadi Cukong Pembangunan Masa Soekarno, Pengusaha Kaya Raya Asal Aceh Ini Berakhir Tragis Saat Soeharto Berkuasa. Inilah Cerita Penyebab Kejatuhannya...

Soeprapto dikenal sebagai sosok yang memiliki kewibawaan besar dan gigih dalam mempertahankan hukum dan setiap undang-undang yang berlaku. Bahkan, ia tak segan mempertaruhkan nyawanya demi mempertahankan keyakinannya, seperti kesaksian dari Prof Seno Adjie, mantan Menteri Kehakiman era Soeharto yang pernah mendampingi Soeprapto.

Suatu ketika, seorang jaksa menindak teman seorang Panglima yang dituduh melakukan penyelundupan. Karena tak suka temannya ditindak, si Panglima tersebut mengeluarkan surat perintah untuk menahan si jaksa.

Mengetahui hal itu, Soeprapto menyambut Mayor yang ditugaskan melaksakan perintah tersebut dengan pistol di atas meja. Soeprapto mempersilakan sang Mayor untuk melaksanakan tugasnya dengan syarat harus melangkahi mayatnya terlebih dahulu. Si Mayor pun merasa bingung dengan kenekatan Soeprapto. Ia pun terpaksa mundur teratur dan kembali pulang.

Jenderal Abdul Haris Nasution selaku Menteri Koordinator Pertahanan/Keamanan dan Kepala Staf ABRI, b
Mahandis Yoanata Thamrin

Jenderal Abdul Haris Nasution selaku Menteri Koordinator Pertahanan/Keamanan dan Kepala Staf ABRI, b

Menurut Prof Seno Adjie, kejadian semacam itu terjadi berkali-kali. Bahkan, ia sering bersitegang dengan pemerintah akibat kegigihannya dalam menentang dan memberantas semua penghambat terlaksananya ketertiban hukum dan undang-undang.

Tak hanya itu, Soeprapto juga pernah menolak melaksanakan perintah Bung Karno karena bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Waktu itu, ketika masyarakat dan media ramai membicarakan perkawinan Bung Karno dengan Hartini, ia diperintahkan Bung Karno untuk menindak Mochtar Lubis selaku penanggung jawab Harian Indonesia Raya.

Baca Juga: Sempat Muncul Sentimen Anti Jawa, Soekarno Genjot Pembangunan Jakarta. Tapi, Mengapa Masalah Itu Tetap Sulit Dipecahkan?

Pasalnya, surat kabar tersebut dituduh telah memuat berita-berita yang mencemarkan nama baiknya. Namun, ia tidak meladeni perintah tersebut karena menurutnya penuntutan itu tak perlu dilakukan.

Sebaliknya sewaktu Ketua PKI Aidit mengeluarkan brosur yang menghina Bung Hatta, Soeprapto menindaknya secara hukum dan mengadili Aidit, meski sudah ada perintah dari atasan agak tidak melanjutkannya.

Bagi Soeprapto, prinsip yang selalu ia pegang adalah keadilan, keyakinan, dan kejujuran, sehingga tak terpengaruh oleh apa pun.

Dalam artikelnya yang berjudul "Mengenang Keberanian Jaksa Agung Soeprapto" yang dikutip dari laman resmi LIPI, sejarawan Asvi Warman Adam menyebut bahwa Soeprapto pernah marah kepada putrinya Sylvia karena menerima dua gelang emas besar dari seorang Pakistan.

Soeprapto pun marah kepada Sylvia dan menyuruhnya untuk mengembalikan gelang emas itu. Putranya, Susanto, juga pernah dimarahinya karena menerima cincin bermata giok dari seorang pedagang Tionghoa.

DN Aidit ketika bertemu dengan Mao Zedong.
Tribunnews.com

DN Aidit ketika bertemu dengan Mao Zedong.

Suatu saat ketika Susanto bermain bola di halaman rumah, tendangannya meleset dan mengenai tukang becak yang tengah mengangkut tiga orang. Becak itu pun terguling dan semua penumpangnya terluka.

Mengetahui hal itu, Soeprapto menyuruh anaknya untuk meminta maaf kepada tukang becak tersebut. Ia juga membayar ganti rugi kepada si tukang becak serta memberi biaya pengobatan untuk tiga penumpangnya.

Ia adalah Jaksa Agung yang terkenal ulet, rajin, dan berani. Tidak peduli Menteri atau Jenderal dipanggil dan diperiksa oleh Kejaksaan.

Baca Juga: Di Ende Soekarno Jatuh Cinta Pada Rakyat Jelata dan Lakukan Olahraga Ini Setiap Pagi

Banyak yang merindukan kehadiran 'Soeprapto' lainnya di era saat ini. Sayangnya belum ada satu pun generasi Jaksa Agung yang bisa mengalahkan kepiawaian dan ketegasan pria kelahiran 27 Maret 1897 tersebut dalam penegakan hukum di Indonesia.

Kalaupun patung yang menjadi ikon Kejaksaan Agung itu bisa berbicara, mungkin saja dia menangis melihat kondisi kejaksaan yang bak macan ompong dalam pemberantasan korupsi dan mengembalikan kerugian negara.

Perjuangan Soeprapto menegakkan citra kejaksaan yang bersih dan profesional kini hilang seketika. Kondisi itu tercipta karena ulah oknum-oknum pejabat kejaksaan yang 'menggadaikan' jabatannya untuk kepentingan pribadi dan mengkriminalisasi orang-orang yang tak bersalah.

Padahal saat Soeprapto menjabat Jaksa Agung, ia disegani oleh kalangan yang ingin mempermainkan hukum. Bahkan dia yang turun sendiri menuntut Sultan Hamid – Menteri Negara Kabinet Natsir – karena membantu pemberontakan bersama Westerling.

Jenderal Nasution dan anak-buahnya pun tak luput pernah merasakan diperiksa oleh seorang Soeprapto dan menjadi mereka tahanan rumah dan kota. Hasilnya, Nasution dicopot dari jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD).

Tak hanya itu, ia juga pernah menuntut Ruslan Abdulgani pada bulan April 1957. Menteri luar negeri yang dinyatakan bersalah, menerima suap dan melanggar peraturan devisa oleh Mahkamah Agung. Waktu itu Ruslan membawa uang 11,000 dolar AS titipan dari pengusaha Tionghoa.

Baca Juga: Kisah Kemerdekaan Indonesia, Apa Maksud Soekarno Bilang, 'Pelacur Adalah Mata-mata yang Paling Baik di Dunia'?

Padahal, sebelumnya Presiden Soekarno meminta kasus tersebut dilakukan deponering dengan alasan kepentingan umum. Namun pada akhirnya Soekarno juga mengatakan bahwa ia tidak bisa berbuat apa apa jika memang Jaksa Agung ingin meneruskan kasus ini.

Akhirnya Ruslan Abdulgani divonis mengganti rugi sebesar Rp 5,000 rupiah dan dihukum satu bulan penjara. Pengadilan berlangsung setelah Ruslan berhenti dari kedudukannya sebagai pejabat negara.

Ruslan Abdulgani, Ny. Moekarto, Presiden Dwight Eisenhower dan Ibu Negara Mamie Eisenhower, Presiden Soekarno, Moekarto Notowidigdo di Amerika Serikat.
United States Information Service

Ruslan Abdulgani, Ny. Moekarto, Presiden Dwight Eisenhower dan Ibu Negara Mamie Eisenhower, Presiden Soekarno, Moekarto Notowidigdo di Amerika Serikat.

Kewenangan memeriksa menteri dan jenderal dimungkinkan, karena jaksa agung adalah penuntut umum tertinggi, termasuk dalam lingkup peradilan ketentaraan, berdasar UU Nomor 6/1950.

UU ini kemudian diadakan perubahan, yakni jaksa tentara tidak dapat menyerahkan berkas perkara tanpa persetujuan komandan tentara yang bersangkutan. Masa itu banyak jaksa di oditurat militer diisi oleh jaksa sipil dengan diberi pangkat militer tituler. Atas dasar UU Nomor 6/1950 ini pula, R. Soeprapto merangkap sebagai Jaksa Agung Militer. Beliau diberi pangkat letnan jenderal, seperti diatur dalam PP Nomor 24/1950.

Status Soeprapto yang bukan orang partai, membuat dirinya tidak memiliki kepentingan dalam suatu keputusan pengadilan. Alhasil bukan hanya tokoh nasionalis yang diseret ke pengadilan.

Baca Juga: Terlupakan dalam Sejarah Perjuangan Indonesia, Kenali Profil Perempuan Amerika yang Menulis Pidato Pertama Bung Karno dalam Bahasa Inggris

Bahkan dari kelompok Islam seperti KH Masykur, mantan Menteri Agama dalam kasus dugaan korupsi kain kafan dari Jepang. Jusuf Hasyim dengan dugaan membantu Darul Islam dan Kasman Singodimejo dalam kasus penghasutan di depan umum.

Sementara dari golongan kiri, ada kasus D.N. Aidit dalam pencemaran nama baik Bung Hatta. Lalu Sidik Kertapati dengan dugaan pemberontakan. Kemudian dari partai sosialis, ada mantan Menteri Sumitro Djojohadikusumo diperiksa karena kasus pencemaran nama baik.

DN Aidit
Wikipedia

DN Aidit

Dari etnis Tionghoa adalah Lie Kiat Teng dan Ong Eng Die, keduanya mantan Menteri dalam kasus dugaan penyalahgunaan jabatan. Tokoh daerah yang diadili adalah Sultan Hamid Algadrie II dalam kasus makar. Wartawan senior yang ketika itu pernah diperiksa pengadilan adalah Asa Bafagih, Mochtar Lubis, B.M. Diah, dan Naibaho (Pemimpin Redaksi Harian Rakyat yang berafiliasi ke PKI ).

Soeprapto bertugas sampai tahu 1959 dan ia mengundurkan diri,ketika situasi politik tanah air bertambah buruk, bersamaan dengan diperkenalkannya konsep Demokrasi terpimpin oleh Soekarno.

Baca Juga: Lewat Foto-foto Tulisan Tangannya, Bung Karno Ternyata Punya Sifat Asli Ini. Baca Analisis Tulisan Tangan Bung Karno!

Pria kelahiran Trenggalek ini pun akhirnya meninggal di Jakarta, 2 Desember 1964 pada umur 67 tahun.

Sebuah patung tegak berdiri di halaman depan Gedung Kejaksaan Agung, di Kebayoran Baru Jakarta. Patung itu dibuat untuk menghormati jasa dan perjuangan R Soeprapto, mantan Jaksa Agung (1951-1959). (Ahmad Naufal Dzulfaroh/Kompas.com; ReqNews.com)

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma

Baca Lainnya

Latest