Follow Us

Tak Lagi Mampu Keluarkan Air Mata, Perempuan Dayak Ini Heran Mengapa Hutan Kalimantan Tiap Tahun Selalu Terbakar. Foto-foto Aksinya Padamkan Api Bikin Kita Trenyuh

Bayu Dwi Mardana Kusuma - Minggu, 29 September 2019 | 07:03
Sola Gratia Sihaloho (22) juga tak habis pikir dengan kebakaran hutan dan lahan yang terus menerus terjadi.
BBC Indonesia

Sola Gratia Sihaloho (22) juga tak habis pikir dengan kebakaran hutan dan lahan yang terus menerus terjadi.

Fotokita.net - Sumarni dan Sola adalah dua di antara sekian banyak relawan perempuan yang turun ke tengah bara api kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera dan Kalimantan.

Sola melintasi lahan gambut gosong dan berlumpur bersama beberapa orang relawan Greenpeace lainnya. Kamis (19/09) pagi itu, timnya mendatangi titik api di kawasan Jembatan Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau.

Dengan mengenakan pakaian pemadam kebakaran lengkap, ia melingkarkan gulungan selang air di pundak sambil mengangkat kakinya tinggi-tinggi setiap kali melangkah - menerka mana gambut yang kopong, mana yang cukup padat untuk diinjak.

Baca Juga: Peneliti Asing Bikin Skenario Jika Pohon Benar-benar Hilang dari Muka Bumi. Hasilnya, Betul-betul Buat Kita Bergidik

Sumarni yang asli suku Dayak memang lahir dan tumbuh di Kalimantan Tengah. Ia tak pernah membayangkan harus menyemprotkan ribuan liter air ke hektare demi hektare lahan yang membara di 'rumah'nya sendiri, demi bisa bernapas lega.

"Banyak banget terjadi kebakaran, jadi untuk membantu memadamkan api, kami juga turun langsung," imbuhnya.

Dorongan untuk terjun langsung membantu proses pemadaman itu bersifat naluriah bagi Sumarni Laman.

Baca Juga: Tak Ingin Berpangku Tangan, Gubernur Anies Baswedan Kirimkan Satgas untuk Bantu Kebakaran Hutan di Riau

Sumarni (kiri) menarik selang untuk melancarkan aliran air dalam upaya pemadaman salah satu titik api di Palangkaraya, Kalimantan Tengah (18/09)
BBC Indonesia

Sumarni (kiri) menarik selang untuk melancarkan aliran air dalam upaya pemadaman salah satu titik api di Palangkaraya, Kalimantan Tengah (18/09)

"Selama ratusan tahun kami menjaga hutan kami, hutan Kalimantan," ujar perempuan berusia 23 tahun itu saat rehat di atas lahan gambut yang hangus di perbatasan Kota Palangkaraya dan Kabupaten Pulang Pisau, Rabu (18/09).

"We are the guardians of the forests (Kami adalah para penjaga hutan)," tambahnya.

Seperti Sumarni, Sola Gratia Sihaloho (22) juga tak habis pikir dengan kebakaran hutan dan lahan yang terus menerus terjadi.

Baca Juga: Dampak Kabut Asap dan Karhutla Makin Parah, Warga Dua Desa Ini Harus Nyalakan Lampu di Siang Hari Karena Langit Memerah Seperti Maghrib

BBC Indonesia

Tak lekang dari ingatannya aroma asap dan kabut 'abu' pekat yang menyelimuti kampung halamannya di Ketapang, Kalimantan Barat, sejak bertahun-tahun lalu.

"Setiap tahun tuh pasti ada (kabut asap)," ujar Sola.

Tanda tanya itu tumbuh semakin besar setelah ia menyaksikan sendiri dua rekan kerjanya menjadi korban asap kebakaran hutan dan lahan.

"Teman dan atasan (saya) pernah sakit, sampai ada yang meninggal," imbuhnya.

Baca Juga: Tanpa Bekal Bahasa Indonesia, Bule Prancis Ini Nekat Tinggal di Kalimantan Buat Selamatkan Lingkungan. Kini Dia Jadi Salah Satu Korban Kabut Asap Karhutla

BBC Indonesia

Sumarni dan Sola adalah dua di antara sekian banyak relawan perempuan yang turun ke tengah bara api kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera dan Kalimantan.

Sola melintasi lahan gambut gosong dan berlumpur bersama beberapa orang relawan Greenpeace lainnya. Kamis (19/09) pagi itu, timnya mendatangi titik api di kawasan Jembatan Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau.

Dengan mengenakan pakaian pemadam kebakaran lengkap, ia melingkarkan gulungan selang air di pundak sambil mengangkat kakinya tinggi-tinggi setiap kali melangkah - menerka mana gambut yang kopong, mana yang cukup padat untuk diinjak.

Baca Juga: Jeritan Hati Korban Kabut Asap Kian Menggema, Mengapa Pemerintah Belum Jua Umumkan Status Bencana? Foto-foto Tragis Ini Jadi Bukti...

Sola Gratia Sihaloho (22) juga tak habis pikir dengan kebakaran hutan dan lahan yang terus menerus terjadi.
BBC Indonesia

Sola Gratia Sihaloho (22) juga tak habis pikir dengan kebakaran hutan dan lahan yang terus menerus terjadi.

Ia masuk semakin dalam ke tengah semak belukar di atas gambut yang kering dan menghitam, ke kawasan dengan asap yang masih membumbung tinggi.

"Kita diajaringimana sih tipe-tipe tipikal gambut, terus gimana cara kita menanggulanginya," tutur Sola. "Kita kan nggak bisa sembarang siram."

Di sana-sini, para petugas dari satuan maupun kelompok lain tengah memadamkan api. Kobarannya memang kerap tak tampak, karena api biasanya membara di bawah permukaan gambut yang kedalamannya sulit ditebak.

Baca Juga: Terkulai Lemah dengan Lidah Terjulur, Orangutan Penghuni Hutan Kalimantan Ini Sesak Napas Akibat Kabut Asap yang Kian Pekat. Foto-foto Ini Jadi Buktinya

Sola (kiri) bersama sejumlah relawan lain memadamkan api di atas lahan gambut yang terbakar di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah (19/09)
BBC Indonesia

Sola (kiri) bersama sejumlah relawan lain memadamkan api di atas lahan gambut yang terbakar di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah (19/09)

Sebelumnya, Sola dan relawan lain dari lembaga swadaya masyarakat yang berpusat di Belanda itu sudah diberi pelatihan khusus untuk bisa bergabung dengan Tim Cegah Api Karhutla.

"Kita dilatih sama teman-teman dari Rusia, pelatih dari Rusia. Kita diajarin bagaimana teknik (pemadaman)nya," ungkapnya.

Setelah tiba persis beberapa meter dari asap yang mengepul tebal, Sola dan teman-temannya - dibantu sejumlah tentara - mulai memasang dan menyalakan mesin pompa air untuk menyedot air tanah dari sumur galian terdekat.

Baca Juga: Tergolek Lemah Memakai Masker Oksigen di Rumah Sakit, Lansia Ini Jadi Salah Satu Korban Karhutla. Foto-foto Ini Ungkap Betapa Bahayanya Kabut Asap

Sola mempraktikkan ilmu yang didapatnya dari pelatihan pemadaman kebakaran hutan dan lahan yang ia ikuti sebelum bergabung dengan Tim Cegah Api,
BBC Indonesia

Sola mempraktikkan ilmu yang didapatnya dari pelatihan pemadaman kebakaran hutan dan lahan yang ia ikuti sebelum bergabung dengan Tim Cegah Api,

"Tarik selangnya, tarik," teriak salah satu tentara yang suaranya berkejaran dengan bising mesin pompa.

Sola mengambil posisi terdepan. Ia memegang nozzle alias mulut pipa dan mengarahkannya ke area yang ditarget.

"Kita pakai nozzle yang satu arah, alasannya karena efektif di lahan gambut," tuturnya sambil sesekali membenamkan ujung nozzle ke dalam gambut, membiarkan air menerobos sela-sela akar yang saling melilit.

"Kita melakukan pembuburan, di mana pembuburan itu dilakukan untuk mengambil bara yang di bawah. Jadi kita mematikan bara yang di bawah."

Baca Juga: Cuma di Indonesia, Kabut Asap Bikin Polusi Udara Makin Berbahaya, Orang Ini Justru Naik Sepeda Motor Sambil Merokok dan Tak Kenakan Masker. Lihat Fotonya...

Dengan mengenakan pakaian pemadam kebakaran lengkap, relawan perempuan ini mencoba memadamkan api yang melalap lahan gambut.
BBC Indonesia

Dengan mengenakan pakaian pemadam kebakaran lengkap, relawan perempuan ini mencoba memadamkan api yang melalap lahan gambut.

Ini adalah tahun ketiga Sola menjadi relawan Tim Cegah Api. Sebelumnya, pada tahun 2017, ia terjun di kampung halamannya, Ketapang, Kalimantan Barat. Tahun 2018, ia terbang ke Pontianak untuk membantu pemadaman.

Bagi Sola, karhutla tahun 2015 merupakan titik baliknya. Pada saat itu, ia menyaksikan teman dan atasannya menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang begitu parah akibat menghirup kabut asap.

"Temanku ini, pada saat kita mau masuk kerja, dia batuk. Tiba-tiba muntah darah," kata Sola mengingat-ingat peristiwa itu.

Baca Juga: Gara-gara Kabut Asap, Kualitas Udara Palangkaraya Dinyatakan Tak Lagi Layak Buat Manusia. Lantas, Bagaimana Nasib Warganya?

Sekelompok anak muda Palangkaraya turun ke jalan menuntut keadilan iklim Kalimantan dalam Climate Strike (20/09)
BBC Indonesia

Sekelompok anak muda Palangkaraya turun ke jalan menuntut keadilan iklim Kalimantan dalam Climate Strike (20/09)

"Kita bawa ke rumah sakit, kata dokter itu ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) akut. Sejak itu, ia diliburkan sama perusahaannya."

Kejadian lebih nahas lantas menimpa atasannya.

"Dia batuk-batuk sudah mulai parah, akhirnya kata dokter 'ya udah, coba balik (pulang) lewat kapal'. Jadi beliau balik lewat kapal, pergi ke Pontianak. Baru dari Pontianak beliau ke Balikpapan," kisahnya.

Sebenarnya, sang bos ingin mengungsi dari Ketapang, namun berbagai jadwal penerbangan justru dibatalkan. Alhasil, ia terperangkap semakin lama di lingkungan berkabut asap tebal.

Baca Juga: Sinar Mentari Tak Lagi Mampu Tembus Daratan Kalimantan, Foto-foto Ini Jadi Bukti Indonesia Ekspor Kabut Asap ke Malaysia

Lahan gambut hangus terbakar menjadi pemandangan yang kerap tampak di tepi kiri-kanan jalan di Palangkaraya pada musim kemarau
BBC Indonesia

Lahan gambut hangus terbakar menjadi pemandangan yang kerap tampak di tepi kiri-kanan jalan di Palangkaraya pada musim kemarau

Seiring waktu, ISPA yang diderita semakin parah, hingga akhirnya ia mengembuskan napas terakhir.

"Akhirnya masih berlanjut ISPA-nya itu. Itulah yang merenggut nyawanya," tutur Sola.

Menjadi saksi dua peristiwa itu membuat Sola semakin geram dengan nasib nahas yang harus dihadapi ia dan jutaan warga lain yang terdampak.

"Kok bisa ini kejadian? Kenapa? Siapa dalang dari semua ini?" tanyanya kesal.

Baca Juga: Maksud Hati Ingin Berbagi Keprihatinan Soal Kabut Asap, Pemilik Akun Twitter Ini Justru Bagikan Foto-foto Lawas

Sebelum terjun ke lokasi pemdaman, para relawan dan sejumlah anggota Taruna Siaga Bencana (Tagana) berkumpul untuk pengarahan dan doa
BBC Indonesia

Sebelum terjun ke lokasi pemdaman, para relawan dan sejumlah anggota Taruna Siaga Bencana (Tagana) berkumpul untuk pengarahan dan doa

Ia bertekad menghentikan kebakaran hutan dan lahan dengan tangannya sendiri. Menjadi relawan Tim Cegah Api adalah hal yang bisa ia lakukan saat ini.

"Bos sama temanku udah (cukup menjadi korban), jangan sampai itu terjadi sama keluargaku," ujarnya.

"Mungkin bukan saat ini kita lihat (dampaknya). Mungkin bukan saat ini kita hirup langsung kita mati, tapi nanti 15 tahun, 20 tahun (lagi)."

Sumarni Laman menceritakan kisah masa kecilnya yang kerap terjaga memantau jilatan api di sekitar rumahnya di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Baca Juga: Indonesia Kembali Ekspor Kabut Asap ke Negara Tetangga. Menteri Malaysia Protes Pada Menteri Siti Nurbaya lewat Facebook Sambil Tunjukkan Bukti Fotonya

Sola Gratia Sihaloho (22) juga tak habis pikir dengan kebakaran hutan dan lahan yang terus menerus terjadi.
BBC Indonesia

Sola Gratia Sihaloho (22) juga tak habis pikir dengan kebakaran hutan dan lahan yang terus menerus terjadi.

"Rumah saya itu dulu di sampingnya kayak hutan. Dan itu dari saya kecil, dari SD, sering kebakar, hampir kena rumah," tuturnya.

"Kami harus jaga siang-malam untuk menjaga apinya biar tidak kena ke rumah."

Sumarni kecil sudah ikut andil dalam upaya mempertahankan tempat tinggal mereka dulu. Ember demi ember diisi air dan disusun di sekitar rumah, "biar ketika apinya dekat itu langsung siram".

Kegiatan itu bisa dilakukan selama satu minggu penuh, setiap hari.

Baca Juga: Asap Kebakaran Hutan dari Indonesia Makin Parah, Malaysia Liburkan Ratusan Sekolah. Bagaimana Nasib Hubungan Indonesia - Malaysia?

Kabut asap pekat menyelimuti Jembatan Kahayan, Kota Palangkaraya (19/09)
BBC Indonesia

Kabut asap pekat menyelimuti Jembatan Kahayan, Kota Palangkaraya (19/09)

Oleh karenanya, Sumarni sudah 'akrab' dengan kabut asap. Dalam ingatannya, sejak tahun 2002, dampak asap kebakaran hutan dan lahan - dalam siklus 4-5 tahunan yang dipengaruhi iklim El Nino - terus menerus ia rasakan.

Sementara itu, Sumarni tidak menyangkal bahwa di sisi lain, kegiatan slash and burn alias memangkas dan membakar lahan sudah menjadi bagian dari budaya turun temurun warga Dayak yang bermata pencaharian sebagai petani ladang. Orang tua Sumarni pun dulunya bekerja di ladang.

"Orang Dayak itu mengenal namanya dua hutan, hutan primer dan sekunder," ujarnya.

Menurutnya, hutan primer adalah hutan yang tidak boleh disentuh. Kalaupun ada sesuatu yang perlu dilakukan atau diambil di dalamnya, ada syarat yang harus dipenuhi.

"Ketika kamu masuk hutan, kamu harus melakukan upacara adat."

Baca Juga: Di Aceh, Kabut Asap Tebal Mulai Bawa Korban. Lihat Foto-foto Kejadian Tahunan yang Kerap Terulang Ini!

Delapan jam sehari Sumarni ikut memadamkan api ke lokasi kebakaran hutan dan lahan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
BBC Indonesia

Delapan jam sehari Sumarni ikut memadamkan api ke lokasi kebakaran hutan dan lahan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Sementara hutan sekunder adalah hutan yang dekat permukiman dan boleh ditanami warga. Di hutan sekunder ini lah, menurut Sumarni, warga biasanya melakukan tradisi pembakaran lahan gambut untuk menurunkan kadar asam yang dikandung.

Sumarni menuturkan, sebelum dibakar, biasanya warga akan membuat kanal air di sekeliling lahan dan memangkas tanaman yang tumbuh di atasnya.

"Kemudian, satu desa itu akan menjaga api itu agar tidak merembet ke tempat lain, dan biasanya dulu itu api akan padam dalam satu hari dan asapnya tidak banyak," katanya.

Akan tetapi, pembakaran lahan selama dua dekade terakhir berbeda dengan yang ia ketahui selama ini.

"Sekarang kan orang datang ke Kalimantan, kemudian mereka meniru ini. Ada banyak perusahaan-perusahaan besar yang (ingin) membuka lahan dengan cara mudah, bakar saja," ungkapnya.

Baca Juga: Enam Provinsi Darurat Kebakaran Hutan, Akankah Indonesia Kembali Ekspor Asap?

Hingga Senin (23/09), polisi sudah menetapkan sembilan perusahaan sebagai tersangka kebakaran hutan dan lahan.

"Untuk jumlah tersangka korporasi ada sembilan tersangka. Bareskrim menetapkan PT AP sebagai tersangka," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo di Jakarta, Senin kemarin, seperti dikutip Kompas.com.

Sementara itu, hampir 300 individu juga ditetapkan sebagai tersangka, di mana 79 di antara mereka berasal dari Kalimantan Tengah.

Sumarni menganggap masyarakat adat Dayak 'dikorbankan' dalam kasus karhutla.

"Sebagai masyarakat adat, sebagai pemuda adat, kami merasa kenapa kami yang dikambing hitamkan? Padahal kami yang berjuang keras untuk menjaga hutan-hutan kami, melindungi apa yang tersisa," tuturnya.

Amarah itu belakangan ia salurkan dengan terlibat dalam kegiatan sosial kelompok Youth Act Kalimantan, di mana ia kini menjadi koordinatornya. Ia ingin memberikan sumbangsih nyata untuk melindungi hutan dan komunitasnya.

Baca Juga: Asap Pekat Kebakaran Ganggu Aktivitas Warga Aceh, Petugas Kesehatan Bagikan Masker. Foto-foto Ini Buktinya

"Kita mau bersuara dan kami juga melakukan sesuatu. Kita bukan hanya komplain, tapi kami melakukan aksi nyata di lapangan, dan kami ingin melindungi rumah kami, Kalimantan," bebernya.

Delapan jam sehari Sumarni ikut memadamkan api ke lokasi kebakaran hutan dan lahan di Palangkaraya. Ia akan memulai hari dengan mengikuti pengarahan di kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Palangkaraya, sebelum akhirnya meluncur ke lokasi bersama tim relawan dan Taruna Siaga Bencana.

Masker khusus, kacamata, dan sepatu bot setidaknya harus ia kenakan setiap bersentuhan dengan titik api.

"Waktu hari pertama padamin api, itu apinya besar sekali dan nggak pakai safety (perlengkapan keamanan)," tuturnya.

"Hari selanjutnya saya sakit semingguan, karena ternyata tidak semudah yang kita kira. Memadamkan api itu asapnya bikin mata sakit, terus asapnya bikin kita susah bernapas, sakit, segala macam."

Tapi semua itu ia perlu lakukan untuk menghentikan api dan menghapus asap dari udara di sekitarnya.

"Rumahmu itu terbakar, jadi ayo bertindak, lakukan sesuatu. Even if you are small, walaupun kamu seorang perempuan, datang ke lapangan.

"Ya kelihatan susah, ini benar-benar susah, tapi ayo lakukan sesuatu," ajak lulusan Pendidikan Kimia Universitas Palangka Raya itu.

Pesan itu juga disuarakan Sola Gratia Sihaloho.

Mahasiswi jurusan sistem informatika Akademi Manajemen Komputer dan Informatika (AMKI) Ketapang itu mengharapkan semua orang, terutama perempuan, untuk bisa ikut andil menyelamatkan hutan dan melindungi kesehatan warga.

"Ada kepuasan sendiri. Aku sebagai perempuan, aku bisa melakukan yang banyak orang pikir 'kamu perempuan, mana bisa perempuan bawa selang, mana bisa perempuan bawa mesin'.

"Aku puas sama diriku sendiri. Kita perempuan, kita bisa melakukan apapun," ungkapnya.

Sola juga meminta semua orang untuk benar-benar memahami arti hutan bagi manusia. Ia menuntut siapapun untuk tidak bersikap egois.

"Bukan cuma saat ini kita butuh hutan. Dua tahun, lima tahun, 10 tahun, bahkan nanti ratusan tahun (lagi) kita butuh hutan. Bukan untuk kita, bukan cuma kita yang menikmati.

"Bukan saat generasi kita selesai, semua orang akan mati. Nggak. Tapi masih ada anak-cucu kita yang akan mewarisi bumi," pungkasnya. (BBC Indonesia)

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma

Baca Lainnya

Latest