Fotokita.net - Keputusan pemindahan ibu kota ditanggapi beragam oleh publik. Ada yang setuju dan menaruh harapan pada kondisi Jakarta agar setidaknya mengurangi kemacetan, namun ada pula yang menolak dengan alasan pemborosan.
Nungky, pekerja di Jakarta, setuju dan optimistis kepindahan ibu kota ke Kalimantan Timur mengurangi kemacetan sampai 30%. Sebab semua pegawai pemerintahan ikut pindah.
"Pasti pengaruh kemacetan. Mungkin nanti rasanya kayak liburan sekolah. Rasanya agak lengang," ujar Nungky kepada BBC News Indonesia.
"Karena kalau kita lihat, para ASN ini juga banyak."
Baginya, Jakarta sudah tidak layak dijadikan Ibu Kota Negara karena sudah terlampau sesak. Dalam bayangannya, ibu kota yang ideal adalah yang memiliki trotoar luas bagi pejalan kaki dan ada jalur pesepeda.
"Karena sudah nggak banget punya ibu kota kayak Jakarta. Apalagi gubernur sekarang, bikin Jakarta makin semrawut. Saya nggak yakin di tangan dia Jakarta bisa seperti Singapur."
"Sekarang aja kalau keluar rumah, sudah mikir-mikir. Udaranya itu..."
Pendapat berbeda diutarakan Winna Wijaya. Pekerja di perusahaan swasta ini menyebut alasan kepindahan ibu kota hanyalah pemborosan anggaran.
"Biaya, kayak Indonesia kaya aja? Wong semua utang," ujarnya kesal.
Menurutnya, kondisi yang disebutkan Jokowi bahwa Jakarta sudah terlalu berat bebannya, bisa dicari solusi. Persoalan macet, perlahan ditangani dengan transportasi publik yang kian bagus.
"Kalau macet, masih bisa diselesaikan. Transportasi kita nggak kurang-kurang," tuturnya.
Hal lain yang dikritiknya yakni gedung-gedung pemerintahan dan kementerian yang bakal menganggur.
"Itu gedung-gedung yang sudah dibangun, kalau pindah mau diapakan? Makanya nggak matang pindah ibu kota ini."
Sementara itu, Rai Rahman Indra, pesimistis kemacetan akan berkurang drastis kalau ibu kota pindah. Paling-paling hanya 10%. Sebab, kata dia, sebagian besar yang tinggal di Jakarta yang berhubungan dengan bisnis, bukan pemerintahan.
Baca Juga: Jokowi Minta Izin Pindahkan Ibu Kota, Apakah Lokasi Ini yang Terpilih Jadi Pusat Pemerintahan?
Perantau dari Padang, Sumatera Barat, ini juga mengatakan tak puas atas penjelasan pemerintah atas pemindahan ibu kota.
"Nah itu. Kalau dibilang kajian, pemerintah belum merilis secara lengkap. Jadi agak terburu-buru sih. Biasanya kan heboh dulu atau minimal ada dialog di televisi. Ya mungkin tiga sampai enam bulan ada ruang membahas itu. Jadi orang-orang aware," tuturnya.
Baca Juga: Foto-foto Udara Tunjukkan Lanskap Bukit Nyuling, Kandidat Ibu Kota Baru Kita
Kendati begitu, Rai setuju saja dengan keputusan Jokowi untuk memboyong pemerintahan ke Kalimantan Timur karena Jakarta sudah tak layak dijadikan pusat pemerintahan.
"Karena macet makin parah. Setahun terakhir kayak disaster. Berbagai cara yang dilakukan seperti perluasan ganjil-genap, nggak mumpuni deh."
Pengamat perkotaan memperkirakan DKI Jakarta akan tetap bergumul dengan persoalan kemacetan, polusi udara, dan krisis air, meski ibu kota negara dipindahkan ke Kalimantan. Pasalnya, kegiatan pemerintahan beserta aparatur sipil negara (ASN) hanya membebani Jakarta sekitar 10%.
Presiden Joko Widodo berkali-kali menyebut rencana pemindahan ibu kota karena beban DKI Jakarta yang sudah terlalu berat lantaran statusnya sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan dan jasa. Imbasnya, Jakarta terkenal sebagai kota termacet nomor tujuh di dunia jika merujuk pada The TomTom Traffic Index.
Baca Juga: Deretan Foto Anak Punk Ibu Kota yang Kembali ke Jalan Tuhan
Indonesia Traffic Watch (ITW) menyebut pemicu utama kemacetan adalah populasi kendaraan yang tidak terkontrol. Sementara pertumbuhan ruas jalan terbatas, sehingga tak mampu menampung kendaraan.
Catatan Bappenas bahkan menyebut, kerugian ekonomi akibat kemacetan di ibu kota mencapai Rp56 triliun berdasarkan hasil studi pada 2013 dan mendekati Rp100 triliun pada 2019.
Sementara, polusi udara akibat asap kendaraan bermotor dan industri tak terhindarkan. Data AirVisual, pada Sabtu (31/08), kualitas udara di Jakarta tercatat sebagai kedua terburuk di dunia setelah kota Lahore di Pakistan.
Belum lagi ketersediaan air di Jawa yang diperkirakan akan mencapai kelangkaan absolut pada 2040.
Dengan segala persoalan itu dan demi pemerataan pembangunan dan ekonomi, Jokowi memutuskan memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur. Kendati Jakarta, katanya, akan tetap menjadi prioritas pembangunan berskala global.
"Jadi bukan Jawa-sentris lagi karena itu dipilih ke Kalimantan. Karena secara geografis di tengah-tengah. Pemerintahan akan lebih mudah, misal kalau ada tugas ke Papua, dengan posisi di tengah-tengah, akan memudahkan," ujar Deputi Bidang Pengembangan Regional, Kementerian PPN/Bappenas, Rudy Soeprihadi Prawiradinata, kepada BBC News Indonesia, Rabu (28/8).
"Dari sisi lain, (untuk) mengurangi beban Jakarta dan Jawa supaya lebih optimal," sambungnya.
Pengamat perkotaan, Rendy A. Diningrat, kontribusi beban pemerintahan beserta para aparatur sipil negara di Jakarta sekitar 10%. Hitungan itu merujuk pada jumlah aparatur sipil negara yang sekitar 1,5 juta dari total warga Jabodetabek yang mencapai 20 juta jiwa.
Kalaupun para ASN berkontribusi pada masalah kemacetan dan polusi, jumlahnya tidak besar dan dapat teratasi dengan adanya transportasi publik.
"Karena lebih dari 10 persennya itu aktivitas orang ke Jakarta untuk bekerja di luar sektor pemerintahan," jelas Rendy A. Diningrat kepada BBC News Indonesia.
Sehingga, menurutnya, dengan kontribusi beban yang sangat sedikit itu, kepindahan ibu kota takkan menyelesaikan masalah. Menurutnya, Jakarta akan tetap berkubang pada problem yang sama jika tidak ada solusi.
"Itu kan artinya 90% masalah di Jakarta masih ada meski ibu kota pindah. Apalagi wacananya setelah ditinggal, Jakarta akan diarahkan sebagai kota global. Gimana mau mimpi menjadi kota global, kalau masih macet, krisis air, dan kualitas udara buruk?" sambungnya.
"Yang terjadi (adalah) pemerintahan selamat, tapi Jakarta sebagai kota global akan porak-poranda dong kalau tidak dibenahi."
Rendy juga menilai dalih yang dipakai untuk memindahkan ibu kota demi pemerataan pembangunan dan ekonomi, keliru. Sebab pemindahan ibu kota tak dibarengi dengan pembangunan pusat bisnis. Sehingga baginya, cita-cita pemerintah kontraproduktif dengan rencana yang dirancang.
"Kalau mau men-trigger ekonomi harus ada basis ekonomi yang kuat. Basis ekonomi misalnya pusat pemerintahan dirancang jadi pusat bisnis internasional yang merespon tantangan geopolitik ke depan. Ini kan nggak," ujarnya.
Sementara untuk tujuan itu, pemerintah sebetulnya telah merancang sejumlah stategi untuk mendistribusikan lebih banyak pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa, seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di 11 wilayah.
"Kemudian ada 10 Bali Baru, Kawasan Ekonomi Terpadu, yang semuanya di luar Jawa. Nah ide-ide itu sudah sampai pada kesimpulan apa? Gagal kah? Itu kan tidak dijelaskan dalam kajian," tuturnya.
Hingga kini Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) belum pernah membuka kajian mendalam terkait pemindahan ibu kota negara kepada publik.
Meski Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN/Bappenas, Rudy Soeprihadi Prawiradinata, mengatakan kepindahan ibu kota negara sudah melewati studi mendalam, yakni Jakarta disebut sudah tidak optimal merujuk pada jumlah kendaraan yang membludak sehingga berdampak pada kemacetan.
Hal lain, sanitasi dan air bersih yang menurut Rudy, belum bisa dinikmati semua warga.
"Tapi bukan berarti kita pindahkan ibu kota berarti Jakarta ditinggalkan, kita siapkan skema-skemanya. Kita akan perbaiki semuanya," jelas Rudy.
Hanya saja, ia tak merinci seberapa signifikan kepindahan ibu kota mengurangi beban Jakarta dan Jawa.
"Kalau dipersenkan ya tidak sesederhana itu. Kita lihat berbagai sisi. Enggak pas lah."
Yang ia percayai, memindahkan ibu kota ke Kalimantan akan ikut mengerek pertumbuhan ekonomi seperti perdagangan. Itu diperkirakan dari belanja pemerintah yang lebih besar terserap di wilayah baru dan kepindahan para pegawai negeri beserta keluarganya yang mencapai 1,5 juta jiwa.
"Adanya 900 ribu aparatur sipil negara di Kalimantan, pelaku ekonomi akan bertumbuh meskipun bertahap. Lalu belanja pemerintah akan signifikan di sini. Sektor jasa akan terbentuk dengan adanya ibu kota baru. Pasti kan ada supply dan demand."
Pengamat perkotaan, Rendy A. Diningrat, menyebut Jakarta bisa diselamatkan jika warganya semakin percaya pada fasilitas publik. Salah satunya transportasi massal.
"Kalau trennya itu kan mulai banyak yang percaya pada transportasi publik dan kualitasnya makin bagus. Sebenarnya kalau melihat tren itu kita bisa optimis bahwa Jakarta bisa dibenahi," ujar Rendy.
Penelitiannya atas perpindahan penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi publik, terlihat semakin baik. Pada tahun 2016 misalnya, perpindahan kendaraan pribadi yang melintas di Jakarta berkurang sekitar satu juta.
Baca Juga: Sanggah Telah Makan Gurita Hidup, Apakah Ria Ricis Bikin Konten Bohong Demi Clickbait di Youtube?
Selain itu, penggunaan Kereta Rel Listrik (KRL) sejak tahun 2013 sampai 2016, terus meningkat setidaknya 600.000-700.000 orang.
Karenanya, Rendy menilai, warga Jakarta tidak bergantung pada pemerintah pusat untuk menyelesaikan problem kotanya.
"Jangan ada narasi, kalau ibu kota pindah ke Kalimantan berarti pemerintah pusat meninggalkan Jakarta. Lho kan ada pemerintah provinsi, mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas masalah di Jakarta."
"Kalau bergantung pada pusat, artinya mereka sedang berimajinasi sebuah negara yang sentralistik." (BBC Indonesia)