Baca Juga: Foto-foto Udara Tunjukkan Lanskap Bukit Nyuling, Kandidat Ibu Kota Baru Kita
Kendati begitu, Rai setuju saja dengan keputusan Jokowi untuk memboyong pemerintahan ke Kalimantan Timur karena Jakarta sudah tak layak dijadikan pusat pemerintahan.
"Karena macet makin parah. Setahun terakhir kayak disaster. Berbagai cara yang dilakukan seperti perluasan ganjil-genap, nggak mumpuni deh."
Pengamat perkotaan memperkirakan DKI Jakarta akan tetap bergumul dengan persoalan kemacetan, polusi udara, dan krisis air, meski ibu kota negara dipindahkan ke Kalimantan. Pasalnya, kegiatan pemerintahan beserta aparatur sipil negara (ASN) hanya membebani Jakarta sekitar 10%.
Presiden Joko Widodo berkali-kali menyebut rencana pemindahan ibu kota karena beban DKI Jakarta yang sudah terlalu berat lantaran statusnya sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan dan jasa. Imbasnya, Jakarta terkenal sebagai kota termacet nomor tujuh di dunia jika merujuk pada The TomTom Traffic Index.
Baca Juga: Deretan Foto Anak Punk Ibu Kota yang Kembali ke Jalan Tuhan
Indonesia Traffic Watch (ITW) menyebut pemicu utama kemacetan adalah populasi kendaraan yang tidak terkontrol. Sementara pertumbuhan ruas jalan terbatas, sehingga tak mampu menampung kendaraan.

Kemacetan Jakarta saat jam sibuk
Catatan Bappenas bahkan menyebut, kerugian ekonomi akibat kemacetan di ibu kota mencapai Rp56 triliun berdasarkan hasil studi pada 2013 dan mendekati Rp100 triliun pada 2019.
Sementara, polusi udara akibat asap kendaraan bermotor dan industri tak terhindarkan. Data AirVisual, pada Sabtu (31/08), kualitas udara di Jakarta tercatat sebagai kedua terburuk di dunia setelah kota Lahore di Pakistan.

Suasana berbagai bangunan terlihat samar karena kabut polusi di Jakarta Pusat, Senin (8/7/2019). Kualitas udara di DKI Jakarta memburuk pada tahun ini dibandingkan tahun 2018. Prediksi ini berdasarkan pengukuran PM 2,5 atau partikel halus di udara yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron (mikromet