"Karena ada pohon asem satu saja di kuburan, jadi angin numplek ke pohon ini. Karena terlalu lebat hujannya jadi kan jelas ada tekanan udara rendah. Dengan rendahnya tekanan udara, burungnya enggan lari. Dia bertahan saja diam dan basah kuyup dan itu menyebabkan dia sakit dan mati," kata dia.
Namun, berdasarkan informasi yang dia terima, ada juga burung-burung yang masih hidup. Begitu bulunya kering, burung yang sehat sudah bisa terbang kembali.
Sebenarnya, kata Santiarka, bulu burung memiliki zat karoten sehingga air sulit menembus ke badan. Di samping itu di bulu burung juga terdapat kelenjar minyak di belakangnya.
"Tapi saking lebatnya hujan karena banyak airnya basah (dan tidak bisa terbang)," kata Santiarka.
Untuk mencari tahu penyebab dari fenomena ini, Pemkab Gianyar melaksanakan uji laboratorium terkait burung-burung pipit mati massal. Uji sampel burung pipit tersebut dilakukan di laboratorium Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar dan hasilnya baru keluar sekitar satu minggu.
Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Gianyar Made Santiarka mengatakan pihaknya mengambil sampel bangkai burung tersebut pada Kamis (9/9) sebelum dikuburkan oleh warga setempat. Setelah diambil, sampel tersebut ditaruh di dalam freezer dan dibawa ke BBVet Denpasar pada Jumat (10/9) pagi.
"Kita kan ambil sampelnya di lokasi kemarin jam 5-an, karena petugas lab juga menyuruh taruh saja dulu, besok bawa pagi-pagi, taruh dulu di freezer. Kalau di freezer kan aman, sampelnya ndak akan bau dan sebagainya. Saya taruh (di freezer), tadi pagi saya bawa ke sana," kata dia.
Menurutnya, jika ingin mendapatkan hasil diagnosis yang tepat, seharusnya sampel yang diambil tidak lebih dari enam jam setelah mati. Jika melebihi enam jam, kemungkinan bangkai burung sudah terkontaminasi bakteri lain.
Karena itu, dalam uji laboratorium, kontaminasi bakteri lain bukan penyebab kematian bisa saja ditemukan jika pengambilan sampel melewati enam jam setelah kematian. Meski diduga lewat dari enam jam, pihak BBVet Denpasar meminta agar sampel burung tersebut tetap diambil.
"Menurut BBVet, diambil saja (sampelnya) kita periksa fitopatologinya. Kalau sudah ranah lab, saya tidak mengerti bagaimana dia caranya bekerja, metode yang dipakai," tuturnya.