"Artinya, di Gianyar kita sudah mengambil tindakan, sudah mengambil sampel, karena kita ndak bisa nebak-nebak penyakitnya begini-begitu. Jadi diagnosis secara tepat, harus bawa ke lab. Nanti lab yang menyimpulkan," jelasnya.
Peneliti dari Pusat Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mohammad Irham mengungkapkan cara mengetahui penyebab fenomena ini dengan cara pemeriksaan nekropsi.
"Saya sudah baca berita ini, tapi saya tidak bisa menjelaskan fenomena ini. Saya tidak tahu apakah ada pemeriksaan nekropsi (bedah bangkai untuk menyelidiki penyakit) atas burung tersebut oleh pihak yang kompeten di Bali," kata Irham.
Irham menjelaskan nekropsi ini penting dilakukan untuk mengetahui sebab kematian burung ini.
"Pemeriksaan ini penting untuk mengetahui penyebab kematian," lanjutnya.
BKSDA Bali mengatakan peristiwa burung-burung pipit berjatuhan di Kabupaten Gianyar, Bali, bukan kejadian pertama kali di Bali maupun Indonesia. Hal serupa pernah terjadi di Denpasar, Tabanan, dan Sukabumi.
"Kejadian ini bukan yang pertama di Bali ataupun bukan pertama di Indonesia. Di Bali dalam lima tahun terakhir juga pernah ada kejadian di area Sanglah, Kota Denpasar, juga di Selemadeg, Kabupaten Tabanan. Juga di Sukabumi, Jawa Barat, bulan Juli tahun 2021," kata Kepala Seksi Wilayah 2 BKSDA Bali Sulistyo Widodo dalam keterangan tertulis, Jumat (10/9/2021).
Sulistyo mengungkapkan burung pipit dapat mati bergerombol karena hewan ini jenis satwa koloni yang hidup berkelompok dalam jumlah besar. Ukuran burung yang kecil menyebabkan kecenderungan berkoloni dalam jumlah besar untuk mengurangi risiko terhadap predator.
"Termasuk saat beristirahat pun bergerombol. Biasanya di satu pohon yang besar bisa sampai ribuan burung," terangnya.
Guna mengetahui penyebab kematian burung tersebut secara mendadak, Sulistyo menegaskan harus dibuktikan secara saintifik melalui proses autopsi dari bangkai dan kotoran burungnya.