Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa hoaks muncul sebagai ekses dari kebebasan berpendapat yang dijunjung di era Demokrasi Pancasila (reformasi) saat ini. Meski memang, kebebasan berpendapat yang kebablasan menjadi bumerang atas praktik demokrasi itu sendiri. Padahal, di era sebelumnya (Orde Baru), kebebasan berpendapat menjadi hak yang diperjuangkan masyarakat.
Baca Juga: Menunggu Dialog di Papua, Damai atau Referendum? Foto-Foto Ini Tunjukan Jayapura Papua Masih Tegang

Tujuh Jenis Hoaks
Peristiwa aksi unjuk rasa 21-22 Mei 2019 kemarin menjadi salah satu momentum dalam melihat kembali praktik demokrasi Indonesia. Segala bentuk unjuk rasa memang dilindungi oleh Pasal 28 UUD 1945 dan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, asalkan sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Akan tetapi, kerusuhan terjadi dan isu hoaks mengenai terancamnya demokrasi muncul di tataran masyarakat madani(civilsocietys).
Di sisi lain, sempat pula pemerintah memberlakukan kebijakan pembatasan media sosial pada waktu tersebut guna mengantisipasi penyebaran hoaks. Lagi-lagi, justru langkah ini menuai pro dan kontra di kalangan warganet.
Bagi pihak yang mendukung, pembatasan media sosial memang diperlukan guna menghambat penyebaran hoaks. Sedangkan yang tidak mendukung, menggunakan dalih kebebasan dalam memperoleh informasi dan berpendapat di muka umum.

Anti berita hoax!
Tidak dapat dipungkiri bahwa segala bentuk hoaks tumbuh subur di atas “tanah” yang bernama media sosial. Berdasarkan laporan We Are Social 2019, penetrasi penggunaan internet di Indonesia mencapai 57 persen dari total penduduk. Belum lagi, rata-rata waktu mengakses internet mencapai 8 jam 36 menit per harinya.
Hal menarik akan terungkap bila temuan di atas disandingkan dengan hasil survei Daily Social.id di Indonesia pada 2018. Dalam hasil survei yang melibatkan 2.032 orang tersebut, ditemukan bahwa Facebook menjadiplatformmedia sosial yang dipilih responden sebagai paling banyak ditemukannya konten-konten hoaks (77,76 persen). Di posisi kedua diisi oleh WhatsApp (72,93 persen) dan diikuti oleh Instagram (60,24 persen).