Bahkan, berita bohong memainkan peranan kunci dalam berbagai konflik tersebut. Dalam catatan sejarah, hoaks seringkali digunakan dalam konteks politik dan sosial.
Bermula dari zaman Romawi Kuno (abad 44 SM), propaganda dilakukan oleh Oktavianus untuk menjatuhkan Mark Antonius dalam perebutan tahta kekaisaran Romawi.
Oktavianus memanfaatkan peristiwa Mark Antonius yang bertemu Cleopatra (pimpinan Mesir kala itu), untuk membuat slogan-slogan pendek yang tertulis di koin-koin berisi kampanye negatif terhadap rivalnya itu.

Infografis beberapa peristiwa besar akibat hoaks di dunia
Sejarah terus bergulir dan hoaks semakin jelas digunakan memobilisasi dan memanipulasi informasi guna memengaruhi massa. Sebut saja seperti Perang Dunia II (1949-1945) yang bermula dari gerakan Nazi di Jerman yang melakukan propaganda terhadap suku bangsa tertentu.
Dalam kancah politik, tentu saja peristiwa Pemilu Amerika Serikat pada 2016 lalu dapat menjadi contoh terdekat hoaks yang digunakan dalam memengaruhi massa untuk menentukan pilihan politisnya.
Dalam rilis PBB melalui UNESCO, terdapat 7 jenis misinformasi dan disinformasi yang terjadi di masa ini. Ketujuhnya ialah satire/parodi, konten yang menyesatkan, konten tiruan, konten palsu, koneksi yang salah, konten yang salah, dan konten yang dimanipulasi. Tujuh jenis ini turut menjadi acuan lembaga-lembaga di negara-negara lain dalam menangkal hoaks.

Antisipasi Sebaran Hoaks Pemerintah Batasi Akses Whatsapp dan Sosial Media, Sampai Kapan?
Kebebasan Kebablasan Lantas, bagaimana dengan hoaks di Indonesia? Munculnya hoaks di Indonesia dapat dikatakan sebagai ekses atas praktik demokrasi di negara ini.
Pemilu 2019 yang baru saja digelar sudah dapat menjadi contoh nyata masyarakat atas banalnya praktik hoaks yang menjadi komoditas kampanye para partai maupun calon presiden.