Fotokita.net -Keputusan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memperlambat hingga memblokir internet seakan sudah menjadi standar tindakan yang diambil tiap terjadinya kerusuhan.
Pertama kali tindakan ini diterapkan saat kerusuhan di Jakarta pada 22-23 Mei 2019. Untuk yang kedua kalinya, terjadi lagi di Papua dan Papua Barat akibat situasi yang memanas pascainsiden di asrama mahasiswa Papua di Surabaya.
Perlambatan akses internet saat kerusuhan di Papua beberapa hari lalu menjadi pengulangan sikap pemerintah yang sebelumnya mengambil tindakan serupa saat aksi 22 Mei 2019 di Jakarta.

Massa membakar ban saat kerusuhan di pintu masuk Jalan Trikora Wosi Manokwari, Senin (19/8/2019). Aksi ini merupakan buntut dari kemarahan mereka atas peristiwa yang dialami mahasiswa asal Papua di Surabaya, Malang dan Semarang.
Alasannya, guna meminimalisir penyebaran hoaks, konten negatif, dan provokatif sehingga keadaan segera kondusif. Hingga kini, hoaks seakan menjadi anak demokrasi yang tidak diinginkan namun terus menerus ada.
Langkah ini diambil demi meredam penyebaran berita bohong maupun konten negatif via media sosial. Setidaknya sudah ada dua berita bohong yang tersebar mengenai kerusuhan di Papua, yakni hoaks foto mahasiswa Papua tewas dipukul aparat di Surabaya dan hoaks Polres Surabaya menculik dua pengantar makanan untuk mahasiswa
Sebenarnya, Kemkominfo mencoba menerapkan kebijakan yang sudah dipraktikkan oleh negara lainnya. Misalnya seperti yang dilakukan Srilanka menyusul serangan di sebuah wihara di Abathanna (Maret 2018) dan serangkaian peledakan bom di Colombo (21 April 2019). Alasannya pun tak jauh berbeda, untuk mencegah penyebaran hoaks yang dapat memicu konflik lainnya.

Infografis negara yang membatasi internet dan atau media sosial saat konflik.
Permasalahan hoaks bukanlah milik Indonesia saja, namun juga terjadi dan tumbuh di belahan negara lainnya. Jika melihat sejarah dunia, peristiwa-peristiwa besar seperti propaganda dan konflik besar beberapa bermula dari berita bohong.