Follow Us

Pantas Pemimpin Khilafatul Muslimin Ngotot Bikin Negara Sendiri, Ternyata Punya Dendam Gegara Anaknya Jadi Korban Pembantaian TNI, Foto Sosoknya Dielu-elukan

Bayu Dwi Mardana Kusuma - Jumat, 17 Juni 2022 | 08:24
Pemimpin tertinggi Khilafatul Muslimin punya dendam gegara anaknya jadi korban pembantaian TNI di Lampung. Pantas ngotot bikin negara sendiri.
Antara via Facebook

Pemimpin tertinggi Khilafatul Muslimin punya dendam gegara anaknya jadi korban pembantaian TNI di Lampung. Pantas ngotot bikin negara sendiri.

Pada 1 Februari 1989, ada laporan dari kepala desa setempat bahwa kelompok Warsidi mengadakan ceramah bernada ekstrem, mengumpulkan botol untuk bom molotov, dan mengadakan latihan beladiri. Pada 4 Februari 1989, laporan dari kepala desa itu diteruskan Sutiman ke Kodim Lampung Tengah. Selanjutnya, Mayor E.O. Sinaga turun tangan. Tidak lupa, Kapten Sutiman mengirim beberapa anggotanya untuk mengintai pengajian Warsidi.

Pada Pukul 23.00 malam 5 Februari 1989, rupanya pengintai yang dikirim Sutiman juga melakukan penculikan pada beberapa pengikut Warsidi. Anggoto kelompok Warsidi pun mengadakan rapat mendadak.

Pada 6 Februari 1989, rombongan pejabat lokal, baik sipil maupun militer, mendatangi kelompok Warsidi di Umbul Cideung. Setiba di tempat kelompok Warsidi, rombongan itu langsung diserang karena dikira akan menangkap Warsidi. Dalam bentrokan itu, Kapten Sutiman tewas. Tidak lama setelah itu, di tempat lain, Prajurit Satu Budi dibunuh Riyanto, pengikut Warsidi, yang kesal dengan kedatangan pejabat lokal yang datang.

Baca Juga: Bukan Cuma Menteri Pendidikan, Khilafatul Muslimin Ternyata Punya Pembantu Khalifah yang Khusus Kumpulkan Dana Operasional, Foto Sosoknya Terungkap

Pemimpin tertinggi Khilafatul Muslimin punya dendam gegara anaknya jadi korban pembantaian TNI di Lampung. Pantas ngotot bikin negara sendiri.
Facebook

Pemimpin tertinggi Khilafatul Muslimin punya dendam gegara anaknya jadi korban pembantaian TNI di Lampung. Pantas ngotot bikin negara sendiri.

Tengah malam menjelang 7 Februari 1989, tepat hari ini 29 tahun lalu, Kolonel Hendropriyono memimpin pasukan yang terdiri 3 peleton Batalyon 143 dan satu peleton Brigade Mobil (Brimob). Pukul 04.00 tanggal 7 Februari 1989, pasukan menyerbu Umbul Cideung. Sebagaimana dilaporkan majalah Tempo edisi 18 Februari 1989, sebanyak 246 pengikut Warsidi tewas, termasuk Warsidi sendiri.

Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menurunkan laporan terperinci yang berjudul Kertas Posisi KontraS: Kasus Talangsari 1989, Sebuah Kisah Tragis Yang Dilupakan. Laporan itu menyebutkan pasukan yang dipimpin Hendropriyono dilengkapi senjata modern M-16, bom pembakar (napalm), granat, dan dua buah helikopter yang membentengi arah barat.

Melihat penyerbuan terencana dan besar-besaran, dan tidak ada jalan keluar bagi jemaah untuk menyelamatkan diri, mereka hanya bisa membentengi diri dengan membekali senjata seadanya.

Ibu Saudah, salah seorang saksi mata dari kelompok Warsidi yang masih hidup, memberi kesaksian bahwa pada pagi hari ia sudah melihat sekitar 80-an mayat yang bergelimpangan di sana-sini hasil serangan aparat sejak pukul 05.30 pagi.

Setelah dikumpulkan, sekitar dua puluh ibu-ibu dan anak-anak dipukul dan ditarik jilbabnya sambil dimaki-maki aparat: “Ini istri-istri PKI." Di depan jemaah, seorang tentara mengatakan, “Perempuan dan anak-anak ini juga harus dihabisi, karena akan tumbuh lagi nantinya".

Masih menurut investigasi KontraS, seorang bocah lelaki dari kelompok Warsidi, Ahmad (10 tahun), dipaksa menyiramkan bensin ke arah pondok-pondok dan membakarnya. Di bawah ancaman senjata aparat, Ahmad berturut-turut diperintahkan untuk membakar rumah Jayus, Ibu Saudah, pondok pesantren, dan bangunan-bangunan yang diduga berisi 80-100 orang. Bayi, anak-anak, ibu-ibu (banyak di antaranya yang sedang hamil), remaja, dan orang tua dibakar disertai dengan tembakan-tembakan untuk meredam suara-suara teriakan lainnya.

Berakhirlah hasrat kelompok Warsidi untuk hidup secara Islami dalam sebuah kampung yang eksklusif.

Editor : Fotokita

Baca Lainnya

Latest