Follow Us

Belum Cukup Laut China Selatan dan Lembah Galwan, Tiongkok Ketahuan Incar Tanah Negara yang Tak Disangka-sangka Ini, Kini Indonesia Siapkan Natuna Jadi Garis Depan Sengketa

Bayu Dwi Mardana Kusuma - Minggu, 05 Juli 2020 | 08:56
Ilustrasi kegiatan pembagunan China di Laut China Selatan
googleusercontent.com

Ilustrasi kegiatan pembagunan China di Laut China Selatan

Fotokita.net - Di tengah wabah virus corona yang belum juga berakhir, China terus saja membuat negara-negara tetangganya geram. Tak cuma itu, negara adidaya Amerika Serikat pun merasa terusik perannya sebagai polisi dunia atas kelakuan negeri panda itu.

Dengan menggunakan kekuatan militernya yang saat ini terus berkembang, China melakukan aksi pendudukan di sejumlah wilayah. Sejak lama, China memang sudah mengincar perairan Laut China Selatan.

Tak hanya itu, China juga mengincar daratan yang menjadi perbatasan antara negaranya dan India, yaitu Lembah Galwan.

Baca Juga: Xi Jinping Gelar Latihan Militer untuk Muluskan Kekuasaan di Laut China Selatan, Amerika Gerak Cepat Kirim 2 Kapal Induk ke Perairan Sengketa Itu, 2 Negara ASEAN Makin Ketar-ketir

Aksi klaim wilayah yang jelas-jelas milik orang lain itu bikin sejumlah negara meradang, terlebih lagi Amerika Serikat yang punya posisi sebagai polisi dunia.

Bermula dari kasus Laut China Selatan hingga Lembah Galwan, China tak henti-hentinya melayangkan klaim secara sepihak.

Bahkan China juga melakukan klaim wilayah di negara kecil yang hampir nyaris tidak terendus media manapun.

Baca Juga: Tinggalkan Malaysia dan Singapura, Indonesia Diprediksi Sebagai Negara dengan Pemuilihan Ekonomi Tercepat Setelah China, Begini Penjelasannya

Mengutip dari 24h.com.vn, pada Selasa (30/6/2020), China mendadak mengklaim sebuah wilayah yang padahal dimiliki oleh Bhutan sebuah negara kecil di Asia.

Menurut sumber, pada pertemuan yang diadakan oleh Global Environtmen Facility (GEF), China memprotes pendanaan untuk proyek perlindungan hewan Sakteng yang dikelola Bhutan.

Secara mendadak, China menyatakan bahwa wilayah ini disengketakan.

"Cadangan Sekteng berada di daerah yang disengketakan antara China dan Bhutan. Ini adalah masalah dalam agenda perbatasan Tiongkok-Bhutan," kata perwakilan China di GEF.

Baca Juga: Pernah Jadi Omongan Orang Gegara Suami Jabat Bupati Istri Sebagai Ketua DPRD, Akhirnya Keduanya Malah Ditangkap KPK, Inilah Kekayaan Sang Pemimpin Daerah

"China memprotes dan tidak akan berpartisipasi dalam keputusan GEF pada proyek Sekteng," katanya.

Menurut India Today, pada kenyataannya tidak pernah ada perselisihan antara Bhutan dan China mengenai cagar alam Sekteng.

Segarnya udara di Bhutan

Segarnya udara di Bhutan

Pandangan ini muncul setelah China menghadiri pertemuan di GEF dan memberi pernyataan yang mengejutkan banyak pihak.

Bhutan tidak memiliki perwakilan langsung di GEF.

Aparna Subramani, pejabat India yang perwakilan untuk Bangladesh, Bhutan, India, Nepal, dan Sri Lanka di GEF.

Melalui wakilnya, Bhutan menolak posisi China dan mengatakan cadangan Sakteng adalah bagian yang tidak terpisahkan dari wilayahnya.

Baca Juga: Indonesia Bangga Masuk Kategori Negara Berpenghasilan Menengah Ke Atas, Warga di Daerah Ini Beli Mi Instan dengan 2 Gram Emas: 'Tuhan Berikan Hasil Emas Bagi Kami'

"Bhutan sepenuhnya menolak klaim teritorial Tiongkok di GEF, Suaka Margasatwa Sekteng adalah bagian berdaulat yang tidak terpisahkan dari Bhutan, dalam negosiasi sebelumnya, Tingkok bahkan tidak pernah bersengketa dengan wilayah itu," kata perwakilan India yang mewakili Bhutan di GEF.

Meskipun ada keberatan dari China, GEF lainnya setuju dan mendukung proyek perlindungan hewan Sakteng.

Bandara Paro, Bhutan
Readers Digest

Bandara Paro, Bhutan

CEO GEF Naoki Ishii, menyatakan bahwa klaim teritorial China tidak akan menghalangi proyek.

Ini adalah pertama kalinya cadangan Sekteng dibahas pada konferensi internasional dan China tidak melewatkan kesempatan untuk mengajukan klaim.

Sementara itu situasi India dan China masih memanas, India sendiri melarang beberapa hal yang berkaitan dengan China untuk tidak digunakan.

Dalam perkembangan lain, India melarang 59 aplikasi buatan China digunakan di India.

Baca Juga: Tak Terima Daerahnya Disamakan dengan Papua, Gubernur Sumut Ketakutan Terima Telepon Mendagri Tito Karnavian Malam-malam: 'Kok Mau ke Medan Ada Apa Ini?'

India mengatakan bahwa aplikasi yang disebutkan di antaranya adalah TikTok, Mobile Legends, dan UC Browser yang dianggap merusak kedaulatan dan keamanan bangsanya.

China menyatakan keprihatinan terhadap langkah yang dilakukan oleh India.

ilustrasi konflik China dan India yang berebut Lembah Galwan
hindustantimes.com

ilustrasi konflik China dan India yang berebut Lembah Galwan

"Pemerintah Tiongkok mewajibkan perusahaannya untuk mematuhi hukum lokal dan internasional," kata Zhao Lian-Kien, juru bicara Kementerian Luar Negeri China.

"India memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak-hak hukum investor internasional, termasuk China," imbuhnya.

Baca Juga: Pecah Perang? Tak Tahan Lagi dengan Ulah Tiongkok di Laut China Selatan, Amerika Gelar Operasi Tempur 2 Kapal Perangnya Sementara 3 Kapal Induk Sudah Berjaga di Bibir Perairan Konflik Itu

Tak cuma itu, salah satu wilayah Indonesia juga jadi incaran China. Terlebih lagi, posisinya yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, yang menjadi sengketa Tiongkok dengan sejumlah negara tetangganya.

Pulau Natuna Besar kini mencuri perhatian dunia meskipun terpencil dan belum maju layaknya Jakarta.

Namun, pulau ini memegang posisi penting bagi kedaulatan bangsa Indonesia.

Bahkan, pulau ini juga merupakan garis terdepan kontes pengaruh dan kontrol strategi penting perairan internasional.

Ilustrasi apel siaga TNI di Natuna
Dok.TNI

Ilustrasi apel siaga TNI di Natuna

Ya, Pulau Natuna menjadi garis terdepan Indonesia mempertahankan kedaulatan dalam bentrokan Laut China Selatan.

Mengutip The Sydney Morning Herald, Indonesia, Vietnam, Malaysia, Brunei dan Filipina semua memiliki hak atas Laut China Selatan berdasarkan konvensi PBB tentang Hukum Laut.

Taiwan juga mengklaim wilayah ini.

Baca Juga: Warga Korea Utara Santap Daging Anak Sendiri, Kim Jong Un Kembali Timbul Tenggelam di Depan Publik, Jepang Rupanya Sudah Deteksi Keanehan Pada Tetangganya Itu

Sementara China, berpegang di bawah kebijakan "sembilan garis putus-putus" (nine dash line), menganggap lebih dari 80% perairan ini adalah milik mereka.

Menurut prediksi yang dirilis 2015 lalu, wilayah ini menyumbang 12% dari tangkapan ikan global.

Akan tetapi, masalahnya bukan hanya ikan saja.

Wilayah Pulau Natuna
Dok. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Natuna

Wilayah Pulau Natuna

Ini juga menyangkut soal tentang pulau-pulau kecil yang termiliterisasi dan kebebasan navigasi di perairan yang dilalui sepertiga pengiriman global setiap tahun.

Data yang dihimpun The Sydney Morning Herald menunjukkan, Departemen Luar Negeri AS memperkirakan pada 2019 terdapat cadangan minyak dan gas yang belum dimanfaatkan di Laut China Selatan senilai US$ 2,5 triliun.

Perkiraan lain dari Badan Informasi Energi AS, ada kemungkinan 11 miliar barel cadangan minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam.

Baca Juga: Negara Lain Sibuk Corona Amerika Siap Perang, Operasi Tempur Kapal Induknya Segera Digelar di Laut China Selatan, Jet Tempur F-22 Paman Sam Cegat Pesawat Patroli Rusia di Wilayah Ini

Klaim Tiongkok atas laut dan programnya membangun terumbu karang menjadi pulau buatan sejak 2014 menjadi perhatian terbesar dunia saat ini.

Tempat-tempat yang dulu hanya ditandai oleh gubuk-gubuk nelayan sekarang dapat menampung pesawat-pesawat militer, rudal, dan stasiun pengisian bahan bakar untuk Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (PLA-N).

Dapat dikatakan, Beijing menciptakan fakta di atas air dan mengubah medan yang menjadi sengketa.

Bagaimana situasi konflik Indonesia dengan China di wilayah ini?

Ilustrasi Perairan Natuna
Tangkap layar kanal Youtube Sekretariat Presiden

Ilustrasi Perairan Natuna

Melansir Kompas.com, banyak faktor yang melatarbelakangi konflik tersebut.

Pada Maret 2016, konflik antara pemerintah Indonesia dan China terjadi lantaran ada kapal ikan ilegal asal China yang masuk ke Perairan Natuna.

Pemerintah Indonesia berencana untuk menangkap kapal tersebut.

Tetapi, proses penangkapan tidak berjalan mulus, lantaran ada campur tangan dari kapal Coast Guard China yang sengaja menabrak KM Kway Fey 10078.

Baca Juga: Dapat Kabar Artileri Pasukan Kim Jong Un Mengarah ke Wilayahnya, Korea Selatan Malah Dibekali Senjata Intai Super Canggih dari Amerika untuk Awasi Gerak-gerik Saudara Tuanya Itu

Hal itu diduga untuk mempersulit KP HIU 11 menangkap KM Kway Fey 10078.

Pada waktu itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan, dalam pertemuan dengan Sun Weide, Kuasa Usaha Sementara China di Indonesia, pihak Indonesia menyampaikan protes keras terhadap China.

Sebulan setelah konflik tersebut, Pemerintah Indonesia menganggap persoalan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dengan Coast Guard China di Perairan Natuna sudah selesai.

Kemudian, pada Juli 2017, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman meluncurkan peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baru.

Panglima Komando Armada I Laksamana Muda TNI Ahmadi Heri Purwono, S.E., M.M., memberi pengarahan kepada anggota TNI AL unsur KRI yang sedang melaksanakan patroli di wilayah Perairan Laut Natuna Utara di Selat Lampa, Natuna, Kamis (18/6/2020).
Dok Koarmada I

Panglima Komando Armada I Laksamana Muda TNI Ahmadi Heri Purwono, S.E., M.M., memberi pengarahan kepada anggota TNI AL unsur KRI yang sedang melaksanakan patroli di wilayah Perairan Laut Natuna Utara di Selat Lampa, Natuna, Kamis (18/6/2020).

Nama Laut China Selatan juga diganti menjadi Laut Natuna Utara.

Langkah tersebut diambil untuk menciptakan kejelasan hukum di laut dan mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif milik Indonesia.

Keputusan tersebut memicu kritik dari Beijing.

Lalu, pada 19 Desember 2019, sejumlah kapal asing penangkap ikan milik China diketahui memasuki Perairan Natuna, Kepulauan Riau.

Kapal-kapal China yang masuk dinyatakan telah melanggar exclusive economic zone (ZEE) Indonesia dan melakukan kegiatan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUUF).

Selain itu, Coast Guard China juga dinyatakan melanggar kedaulatan di perairan Natuna.

Baca Juga: Sembunyikan Uang Bulanan di Tempat Tak Terduga, Seorang Laki-laki Bikin Syok Istrinya Saat Tahu Jumlah Tabungan Sang Suami 3 Tahun Kemudian

Persaingan di atas ombak

Setelah kapal-kapal China memasuki Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE) awal tahun ini, Indonesia mengerahkan angkatan lautnya dan kapal-kapal Bakamla (keamanan maritim), beberapa jet tempur F-16 dan mengirim kapal-kapal nelayan dari pulau utama Jawa untuk mengusir serbuan China.

Akhirnya, kapal-kapal China meninggalkan perairan.

Kapal Coast Guard China yang masuk ke Wilayah Natuna.
Antara

Kapal Coast Guard China yang masuk ke Wilayah Natuna.

Greg Poling, direktur Pusat Studi Strategis dan Internasional Asia Maritime Transparency Initiative yang bermarkas di Washington, mengatakan, China belum "memenangkan" Laut China Selatan.

"Tetapi saya benar-benar berpikir tentang metrik apa pun yang Anda gunakan yang kalah dari AS dan Selatan.

"Negara-negara Asia Timur kalah.

"Apakah Anda ingin melihatnya sebagai masalah hukum internasional atau akses atau sumber daya, jelas China menang di semua lini," paparnya kepada The Sydney Morning Herald.

Baca Juga: Sempat Bikin Heran WHO Lantaran Tak Pernah Terapkan Protokol Kesehatan, Negara Ini Akhirnya Mencatat Kasus Covid-19 Tertinggi dalam 2 Bulan Terakhir, Ternyata Begini Penyebabnya

Dia menambahkan, "China berniat mendominasi Laut China Selatan tanpa kekuatan, dengan memaksa negara-negara Asia Tenggara menerima bahwa mereka telah kalah, dengan menunjukkan dominasi China dengan pasukan paramiliter dan penjaga pantai sedemikian rupa sehingga (mereka) harus menerima apa pun kesepakatan yang buruk yang ada di atas meja, dengan demikian merusak kredibilitas AS, Australia, Jepang dan siapa pun."(*)

Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul "Natuna jadi garis terdepan sengketa wilayah RI vs Tiongkok di Laut China Selatan"

Editor : Fotokita

Latest