Fotokita.net -Penjemputan paksa mahasiswa Papua oleh aparat kepolisian di Asrama Mahasiswa Papua di Kalasan, Surabaya, Jawa Timur terjadi pada hari Sabtu (17/8/2019). Ketegangan bermula sejak hari Jumat (16/8/2019).
Atas kejadian itu, banyak masyarakat Papua yang tidak terima karena dinilai aparat dan ormas melakukan tindak rasisme dengan melontarkan kata-kata tidak pantas.
Kejadian represif yang dilakukan aparat kepolisian dan sejumlah massa ormas terhadap mahasiswa Papua di Surabaya memicu letupan aksi di berbagai daerah.
Aksi Massa pertama bermula di Kota Manokwari pada Senin (19/8/2019). Mereka mengecam keras tindakan rasisme yang dilakukan terhadap saudara-saudaranya di Jawa Timur. Di Deiyai, unjuk rasa yang berujung memakan korban di pihak aparat dan warga sipil. Paling terakhir, demo di Jayapura menyisakan gedung-gedung yang dibakar dan penjarahan terhadap toko milik warga.
Dalam setiap demo itu, bendera bintang kejora kerap muncul. Sebetulnya, bendera bintang kejora telah diakui sebagai bendera budaya.
Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid mengatakan, Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebenarnya memiliki warisan dalam menyelesaikan persoalan di Papua. Gus Dur selalu mengedepankan dialog dalam menangani masalah di sana.
Ia berharap, pendekatan dialog juga diterapkan oleh pemerintah saat ini dalam menangani situasi setelah aksi unjuk rasa.
"Teladan ini perlu dicontoh sehingga warga Papua tidak lagi diperlakukan secara diskriminatif, didengar aspirasinya, serta dihargai martabat kemanusiaannya," ujar Alissa melalui keterangan tertulisnya, Selasa (20/8/2019).
Marjinalisasi dan diskriminasi dialami orang asli Papua, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial-budaya. Sedangkan, sampai hari ini belum ada masalah pelanggaran HAM yang diselesaikan secara adil, termasuk juga belum berhasil diputusnya siklus kekerasan di Papua yang dilakukan negara.

Bendera Bintang Kejora yang berada di atas tower Navigasi di Asmat, Sabtu (17/8).