Meski menuntut sebagai 'penduduk asli' Jakarta, karekteristik politik Gerbang Betawi tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Singkatnya, politik Gerbang Betawi adalah alat untuk mensejahterakan dan menjaga kepentingan warga Betawi dan Jakarta tanpa terkecuali.
Problem Soliditas Masyarakat Betawi
Prof Dr Agus Suradika yang pernah menjadi Deputi Gubernur DKI Jakarta era Fauzi Bowo menyisir beberapa problem di masyarakat Betawi dalam hal kepemimpinan di Jakarta.
Antara lain, belum kompaknya masyarakat Betawi sebagai penduduk asli Jakarta, yang dibuktikan dari banyaknya ormas kebetawian. Diperkirakan saat ini ada 100 ormas yang membawa nama Betawi di Jakarta.
"Semua ingin menjadi pemimpinan/leader, tidak ada yang mau jadi pengikut/followers. Buktinya, saat ini ada dua kepemimpinan atas nama Bamus Betawi. Ini persoalan serius yang sampai saat ini belum bisa diselesaikan," katanya.
Menurut Prof Agus, soliditas memang masih barang langka di Betawi, tidak seperti suku lain di Indonesia yang tampak solid.
Para tokoh Betawi saat ini juga mesti berani melepaskan perbedaan untuk mencapai satu persamaan; kepentingan masyarakat Betawi dan bukan kepentingan sesaat atau jangka pendek.
Masyarakat Betawi juga sebaiknya melakukan pemetaan dan menyelesaikan masalah followers ini, karena mudah terpolarisasi untuk kepentingan sesaat.
"Ajakan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta harus direspons ormas-ormas Betawi dalam konteks politik, tanpa mengabaikan konteks kebudayaan, ekonomi, dan sebagainya. Ormas Gerbang Betawi misalnya harus mendukungnya dengan gerakan pemikirannya sehingga lahir tokoh-tokoh Betawi yang siap menjadi gubernur dan didukung oleh seluruh kader Betawi," ucap Prof Agus yang juga Guru Besar di Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Dalam pandangannya, banyak tokoh Betawi saat ini yang potensial, sekadar menyebut nama seperti Prof Firdaus Dailami (anggota DPD RI 2014-2019), Firdaus Djaelani (Komisioner OJK 2012-2017), Prof Bahrullah Akbar (Anggota V BPK), dan sebagainya.