Follow Us

Berbekal Senjata Ini, Sekelompok Anak-anak Muda Ingin Bikin Maju Pelosok Papua. Foto-foto Aksi Mereka Bikin Kita Bangga

Bayu Dwi Mardana Kusuma - Rabu, 04 September 2019 | 14:35
Program ini adalah bukti kecintaan anak muda Indonesia terhadap Papua.
Foto: GTP UGM

Program ini adalah bukti kecintaan anak muda Indonesia terhadap Papua.

Fotokita.net - Tumbuh Sokhi Giawa, pemuda berusia 28 tahun dari Pulau Nias, Sumatera Utara. Dia datang ke Papua karena tahu wilayah itu butuh dukungan di bidang pendidikan.

“Sebelum ini saya sering melihat dan mendengar berita, kalau di Papua ini memang sangat membutuhkan dukungan dari kita semua, terutama di bidang pendidikan. Kebetulan saya sebelum ini memang mengajar di Sumatera Utara,” kata Tumbuh, lulusan Universitas Muslim Nusantara Al Washliyah, Medan.

Dari kampungnya di pelosok Nias, Tumbuh memang sudah berniat berbagi ilmu dengan anak-anak Papua. Orang tuanya tentu keberatan, apalagi melihat perkembangan yang terjadi. Namun semangat Tumbuh tak goyah. Dia memberikan pengertian tentang peran besar yang bisa dilakukan untuk ikut memajukan Papua, selain meyakinkan bahwa wilayah yang dituju aman.

Keluarga pun akhirnya luluh dan mendukung penuh Tumbuh.

Baca Juga: Papua Sumbang Rp 26 Triliun ke Kas Negara, Pemerintah Kembalikan Rp 92 Triliun. Benarkah Rakyat Papua Belum Rasakan Manfaatnya?

Murid-murid SD Negeri Tuasay, Bintuni - Papua Barat.
Feri Latief/National Geographic Indonesia

Murid-murid SD Negeri Tuasay, Bintuni - Papua Barat.

“Saya pribadi terharu, di dunia pendidikan, ada sebagian daerah kita di Indonesia ini yang masih ketinggalan. Saya kasih cerminan. Daerah kampung saya yang juga pelosok, sehingga orang tua maklum dan memberikan dukungan,” kata Tumbuh yang mengajar Biologi.

Apa yang terlihat di media tentang Papua membuat banyak orang takut datang. Tetapi ada ratusan anak muda yang justru mendekat. Hasrat mereka cuma satu: berbagi ilmu. Larangan orang tua tidak menyiutkan nyali mereka.

Baca Juga: Begini Kiprah Benny Wenda yang Disebut Moeldoko Sebagai Dalang Kerusuhan di Papua, Dari Buronan Pemerintah Indonesia Hingga Hidup Sejahtera di Eropa

Seperti yang dilakukan Marlin Hartiwila Gat, yang berangkat ke Mappi, Papua untuk mengajar Matematika.

Lahir 24 tahun silam di Nabire dan tumbuh di kota yang sama, Marlin adalah lulusan Universitas PGRI Adi Buana di Surabaya, Jawa Timur. Setelah lulus, ia sempat mengajar di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, yang juga kampung halaman ayahnya, selama satu setengah tahun.

Baca Juga: Tokoh Senior Papua Ini Bilang Bintang Kejora Adalah Bendera Budaya. Katanya, 'Mana Ada Belanda Mau Bikin Papua Merdeka. Itu Mimpi!'

Kawasan pelosok di Papua membutuhkan kepedulian lebih di bidang pendidikan.
Foto: GTP UGM

Kawasan pelosok di Papua membutuhkan kepedulian lebih di bidang pendidikan.

Awalnya, kedua orang tuanya tak setuju karena melihat situasi terakhir sejumlah kota di Papua yang mengkhawatirkan. Namun, kegigihan Marlin meruntuhkan tembok larangan itu.

“Saya nekat. Tapi kebetulan ada Ibu Dekan di Nabire, yang katakan ke mereka, bahwa di sini aman. Makanya orang tua izinkan,” ujar Marlin, yang ibunya berasal dari Surabaya.

Baca Juga: Terkuak Kisah Pilu Rasisme Mahasiswa Papua, 'Ih, Kalian Bau dan Suka Makan Babi Mentah!'

Bagi Marlin, mengajar di Mappi seperti membalas jasa Papua yang memberinya tempat di masa kecil. Dia ingin anak-anak Papua pintar membaca, menulis, berhitung, dan pandai mengelola uang. Kata Marlin, kawan-kawannya semasa kecil di Nabire kurang pandai mengelola uang, yang selalu dihabiskan ketika ada tanpa melihat jauh ke depan.

“Karena saya dilahirkan di sini, menempuh SMA di sini, dan saya ingin masyarakat Papua atau anak- anak Papua mendapatkan pendidikan yang sama, dengan anak-anak Indonesia yang lain,” tambahnya.

Peserta GPDT mengikuti pelatihan pra penempatan di Merauke, Papua.
Foto: GTP UGM

Peserta GPDT mengikuti pelatihan pra penempatan di Merauke, Papua.

Pengabdian di Mappi

Marlin dan Tumbuh adalah bagian dari 186 Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) yang akan mengabdi Kabupaten Mappi, Papua. Mereka terpilih dari 519 pendaftar dalam proses seleksi yang berlangsung pada Mei-Juni 2019 di sejumlah daerah, antara lain di Merauke, Mappi, Timika, hingga Yogyakarta, Ambon, Medan, Makassar dan Ende.

Calon GPDT menjalani beberapa tahapan seleksi, seperti seleksi berkas, tes tertulis menyusun RPP, microteaching, tes psikologi, dan wawancara. Program GPDT Kabupaten Mappi merupakan kerja sama Gugus Tugas Papua, Universitas Gadjah Mada (UGM), Pusat Pengembangan Kapasitas dan Kerja Sama (PPKK) Fisipol UGM dan Pemerintah Kabupaten Mappi.

Baca Juga: Foto-foto Bendera Bintang Kejora Saat Demo Papua, Sejak Masa Presiden Ini Diakui Sebagai Bendera Budaya

Pekan lalu mereka tiba di Merauke, mengikuti pembekalan pra penempatan selama sepekan, sebelum kemudian berangkat ke Mappi. Mereka akan disebar di seluruh distrik, pada jenjang sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas.

Rekrutmen kali ini merupakan gelombang ke-4, setelah program yang sama pada 2017 dan dua program pada 2018. Selain Mappi, Gugus Tugas Papua pernah mengirim GPDT ke Kabupaten Puncak pada 2013 dan 2015 serta Kabupaten Intan Jaya pada 2015.

Peserta GPDT akan disebar di berbagai sekolah di Kapubaten Mappi dan mengajar selama 2 tahun di sana.
Foto: GTP UGM

Peserta GPDT akan disebar di berbagai sekolah di Kapubaten Mappi dan mengajar selama 2 tahun di sana.

Ngaliman dari Gugus Tugas Papua (GPT) UGM merinci, program pra penempatan diisi dengan pembekalan oleh psikolog, dialog dengan pejabat dinas pendidikan setempat, dan berbagi bersama peserta dalam program tahun sebelumnya.

Proses ini penting, kata Iman, karena peserta datang dengan latar belakang budaya yang berbeda, kemudian harus memahami dan hidup di tengah masyarakat Papua.

“Dengan membaur, masyarakat Papua tahu bahwa saudara mereka dari Medan, Manado atau Makassar juga memahami mereka, sehingga mereka yakin sebagai bagian dari masyarakat Indonesia,” kata Iman.

Baca Juga: Yuk Kenalan dengan Mahasiswa Papua yang Juara Lomba Fisika Dunia. Mimpinya, Ingin Buat Sekolah dan Makan Siang Gratis di Tanah Kelahirannya

Bukti Cinta Pada Papua

Relatif aman karena tidak ada konflik, Mappi adalah salah satu kabupaten di bagian selatan Provinsi Papua. Secara geografis, hampir mayoritas wilayahnya adalah rawa-rawa. Angkutan udara menjadi akses utama ke ibu kota kabupaten di Kepi.

Menurut Iman, guru-guru itu akan disebar ke wilayah terpencil dari Kepi menggunakan perahu cepat dan ketinting. Diharapkan ada dua guru di setiap sekolah yang dituju. Agar dapat cepat beradaptasi, seluruh guru telah diberi pemahaman secara detil seluruh informasi mengenai budaya Papua.

Mengingat situasi Papua dan Papua Barat yang sedang menghangat, guru-guru juga diminta berbagi rasa nasionalisme dengan para guru dan siswa setempat. Mereka diharapkan bisa menunjukkan bahwa mereka datang dari seluruh penjuru Indonesia karena peduli dengan pendidikan di Papua.

Baca Juga: Fakta Lengkap Penangkapan Mahasiswa Papua, Cekcok Soal Pasang Bendera, Tiang Bendera Jatuh ke Tanah Hingga Makian Rasisme dari Oknum Berseragam Tentara

Mahasiswa Papua di Jakarta menyesalkan stigma-stigma buruk yang masih dipercaya masyarakat.
BBC Indonesia/Anindita Pradana

Mahasiswa Papua di Jakarta menyesalkan stigma-stigma buruk yang masih dipercaya masyarakat.

“Papua harus dilihat secara dekat, tidak bisa dari jauh. Dari dekat, Papua membutuhkan banyak hal,” ujar Iman, sambil menambahkan angkatan GPDT sebelumnya memberi dampak pada masyarakat, terutama pendidikan.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Gugus Tugas Papua UGM, Bambang Purwoko, mengatakan GPDT diharapkan berkontribusi bagi kemajuan pendidikan di Papua.

“Selain itu para guru juga berperan penting dalam membangun semangat dan jiwa keindonesiaan bagi anak-anak dan masyarakat di pedalaman Papua,” kata Bambang.

Baca Juga: Gerakan Papua Merdeka Kerap Disebut, Kata Riset Kelompok Ini Tak Solid. Ada yang Berperang di Hutan, Ada Pula yang Hidup Makmur di Eropa

Para GPDT terpilih berasal dari berbagai program studi, seperti Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Pendidikan IPA (Kimia, Biologi, Fisika), Pendidikan IPS (Geografi, Sejarah, Ekonomi), Matematika, Bahasa Inggris, Pendidikan Agama Katolik, dan berbagai jurusan lain.

Marlin, Tumbuh dan seluruh peserta GPDT akan bertugas selama dua tahun di Mappi. Disadari atau tidak, mereka berperan jauh lebih luas dari sektor pendidikan yang digeluti. Di tengah upaya pemerintah mengirimkan pasukan untuk meredam konflik di Papua, tangan-tangan guru ini, yang menulis di papan tulis, memeluk anak-anak Papua, dan berbagi cerita, adalah “senjata” terbaik menjaga perdamaian di Papua. [ns/ft/VOA Indonesia]

Source : VOA Indonesia

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma

Baca Lainnya

Latest