"Itu kan artinya 90% masalah di Jakarta masih ada meski ibu kota pindah. Apalagi wacananya setelah ditinggal, Jakarta akan diarahkan sebagai kota global. Gimana mau mimpi menjadi kota global, kalau masih macet, krisis air, dan kualitas udara buruk?" sambungnya.

Foto aerial bekas tambang batu bara di Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (28/8/2019). Kementerian LHK akan memperbaiki lubang-lubang bekas tambang di kawasan calon ibu kota negara baru.
"Yang terjadi (adalah) pemerintahan selamat, tapi Jakarta sebagai kota global akan porak-poranda dong kalau tidak dibenahi."
Rendy juga menilai dalih yang dipakai untuk memindahkan ibu kota demi pemerataan pembangunan dan ekonomi, keliru. Sebab pemindahan ibu kota tak dibarengi dengan pembangunan pusat bisnis. Sehingga baginya, cita-cita pemerintah kontraproduktif dengan rencana yang dirancang.
"Kalau mau men-trigger ekonomi harus ada basis ekonomi yang kuat. Basis ekonomi misalnya pusat pemerintahan dirancang jadi pusat bisnis internasional yang merespon tantangan geopolitik ke depan. Ini kan nggak," ujarnya.

Pedagang memanfaatkan trotoar untuk berjualan hewan kurban di Jalan KH Mas Mansyur, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (7/8/2019). Kambing yang didatangkan dari daerah di Jawa Tengah tersebut ditawarkan antara Rp 2,5 juta hingga Rp 6,5 juta, tergantung beratnya kambing.
Sementara untuk tujuan itu, pemerintah sebetulnya telah merancang sejumlah stategi untuk mendistribusikan lebih banyak pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa, seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di 11 wilayah.
"Kemudian ada 10 Bali Baru, Kawasan Ekonomi Terpadu, yang semuanya di luar Jawa. Nah ide-ide itu sudah sampai pada kesimpulan apa? Gagal kah? Itu kan tidak dijelaskan dalam kajian," tuturnya.
Hingga kini Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) belum pernah membuka kajian mendalam terkait pemindahan ibu kota negara kepada publik.