Fotokita.net - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menyebut bahwa pemerintah sudah mengetahui pihak yang menunggangi sejumlah peristiwa kerusuhan yang terjadi di Papua dan Papua Barat belakangan ini.
Laporan lengkap soal keterlibatan penunggang gelap ini sudah dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (30/8/2019).
"Memang rusuh ini ada yang menunggangi, mengompori, memprovokasi, ada yang sengaja dorong terjadi kekacauan," kata Wiranto saat konferensi pers usai rapat.
"Dari laporan tadi BIN, Kapolri, kita tahu siapa yang coba dapat keuntungan dari kerusuhan ini. Kami peringatkan siapa pun dia, hentikan itu, karena itu hanya ingin buat suasana instabil," ucap Wiranto.
Namun, Wiranto tidak menyebutkan pihak yang mendapat untung dari kerusuhan itu.
Pada Senin (2/9/2019) Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko menyebut bahwa tokoh separatis Papua, Benny Wenda, mendalangi kerusuhan di Papua dan Papua Barat.
"Ya jelas toh. Jelas Benny Wenda itu. Dia mobilisasi diplomatik, mobilisasi informasi yang missed, yang enggak benar. Itu yang dia lakukan di Australia, lah, di Inggris, lah," ujar Moeldoko di kantornya, Gedung Bina Graha, Jakarta, Senin (2/9/2019).
Ia menilai apa yang dilakukan Benny Wenda merupakan strategi politik. Karena itu, pemerintah juga menanganinya secara politis.
Akan tetapi, Moeldoko mengatakan, pemerintah telah menempuh berbagai langkah untuk mengatasi persoalan keamanan di Papua dan Papua Barat.
Saat ini Benny Wanda tinggal di Oxford, Inggris. Benny bahkan mendapat penghargaan dari Dewan Kota Oxford.
Salah satu cara yang dilakukan tentunya termasuk diplomasi. "Itulah, seperti diplomasi. Pastilah dilakukan," ujar Moeldoko lagi.
Isu Papua Merdeka memang seperti api dalam sekam. Setiap ada kejadian besar, isu ini seperti menyala dengan terang. Gerakan ini memiliki sayap militer yaitu Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). Mereka kerap mengincar aparat keamanan untuk melakukan gangguan keamanan di Papua.
Lantas apakah itu OPM?
Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah istilah umum bagi gerakan prokemerdekaan Papua yang mulanya adalah reaksi orang Papua atas sikap pemerintah Indonesia sejak 1963.
Perlawanan secara bersenjata pertama kali diluncurkan di Manokwari pada 26 Juli 1965.
"Dari sejak itu OPM berjuang terus," cetus Sebby kepada BBC News Indonesia pada Rabu (12/12).
Dalam perkembangannya, laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) berjudul The Current Status of The Papuan Pro-Independence Movement yang diterbitkan 24 Agustus 2015 menyebut organisasi ini 'terdiri dari faksi yang saling bersaing'.
Faksi ini terdiri dari tiga elemen: kelompok bersenjata, masing-masing memiliki kontrol teritori yang berbeda: Timika, dataran tinggi dan pantai utara; kelompok yang melakukan demonstrasi dan protes; dan sekelompok kecil pemimpin yang berbasis di luar negeri -seperti di Pasifik, Eropa dan AS- yang mencoba untuk meningkatkan kesadaran tentang isu Papua dan membangkitkan dukungan internasional untuk kemerdekaan.
Sebagian besar OPM bersenjata bermarkas di Papua, tetapi beberapa orang berlindung di pedalaman dan di perbatasan Papua Nugini. Namun, tidak ada komando tunggal dalam organisasi bersenjata ini.
Laporan IPAC menyebut, setidaknya terdapat tiga komando sayap militer OPM. Goliath Tabuni, yang berbasis di Tingginambut, kabupaten Puncak Jaya, dipandang yang paling kuat dengan cakupan teritorial yang paling luas, meliputi Puncak, Paniai dan Mimika.
Puron Wenda, yang berbasis di Lanny Jaya memisahkan diri dari Goliath sekitar tahun 2010. Pada Mei 2015, kelompoknya menyatakan "perang total revolusioner" dan mengklaim kelompok Goliat dan yang lainnya berada di bawah komandonya, tetapi tidak ada bukti yang mendukung ini.
Sementara itu, Richard Hans Yoweni berbasis di Papua New Guinea, namun memiliki pengaruh kuat di sepanjang Pantai Utara.
Adapun aparat menuding Egianus Kogoya sebagai otak di balik insiden Nduga.
Direktur eksekutif IPAC yang juga pengamat terorisme, Sydney Jones, menyebut kelompok Egianus Kogoya merupakan sempalan dari kelompok pimpinan Kelly Kwalik, komandan sayap militer OPM, yang tewas dalam penyergapan polisi pada 2009.
"Biasanya OPM ini terdiri dari faksi-faksi. Di Nduga, satu faksi yang berkuasa dan sempalan dari Kelly Kwalik yang dulu bergerak di Timika. Tapi orang-orang ini muda dan lebih militan," ujar Sydney Jones.
Militansi kelompok ini diamini oleh peneliti kajian Papua di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elizabeth yang menyebut organisasi sayap militer OPM ini merupakan 'kelompok yang paling agresif'.
"Kalau dalam struktur (organisasi) tidak ada hierarki, menurut saya, jadi itu ada beberapa kelompok. Tapi kalau melihat pola yang dilakukan kelompok Egianus Kogoya ini memang ini kelompok yang paling agresif," jelas Adriana.
"Yang mereka sasar itu memang TNI," imbuhnya.
Dari catatan polisi, sejumlah kasus yang didalangi Egianus Kogoya antara lain penyekapan belasan guru yang sedang bekerja di SD YPGRI 1, SMPN 1 dan tenaga medis yang bertugas di Puskesmas Mapenduma, Nduga.
Pada 25 Juni 2018, kelompok ini menembaki pesawat Twin Otter Trigana Air pada 25 Juni 2018, yang saat itu disewa Brimob Polri yang sedang bertugas mengamankan pilkada. Dua orang terluka akibat insiden tersebut.
Pada Desember 2017, pekerja Trans Papua di Kecamatan Mugi diserang kelompok Egianus Kogoya. Pekerja proyek bernama Yovicko Sondakh meninggal dan seorang aparat luka berat.
IPAC dalam laporannya menyebut Kelly Kwalik berada di balik penculikan dan pembunuhan delapan orang pendatang di Papua pada 1986. Sepuluh tahun kemudian, pada Januari 1996, dia menculik tim peneliti satwa liar, termasuk enam orang asing di Mapenduma, Nduga.
Orang-orang Kelly juga dikaitkan dengan serangan 31 Agustus 2002 yang menewaskan tiga warga sipil di sekitar wilayah tambang Freeport, termasuk dua guru sekolah Amerika, dan melukai sembilan orang lainnya. Juga serangkaian penembakan yang dimulai Juli 2009 di sepanjang jalan yang menghubungkan tambang ke kota Timika, termasuk pembunuhan seorang warga Australia.
Unit polisi kontra terorisme, Densus 88, kemudian memburu dan menembaknya di Timika pada Desember 2009.
Menyusul kematian Kelly Kwalik, pusat kegiatan bersenjata OPM bergeser ke utara di daerah Puncak Jaya, di mana salah satu pejuang Kelly, Goliath Tabuni kini berbasis.
Sejak 2004, Goliath dan pengikutnya menjadikan Puncak Jaya sebagai distrik paling keras di Papua. Ini membuat daerah operasinya meluas ke distrik tetangga, seperti Puncak dan Tolikara, begitu juga Paniai.
Goliath, disebut Sebby sebagai panglima tinggi TPNPB, sesuai hasil reformasi militer yang digelar 1 -5 Mei 2012.
Peta kekuatan militer TPNPB-OPM sendiri dibagi menjadi 29 Komando Daerah Pertahanan (Kodap) yang tersebar di seluruh Papua.
"Setiap kodap mempunyai 2.500 personil. Dua ribu lima ratus personil TPNPB itu anggota tetap, anggota tidak tetap adalah ratusan ribu," ujarnya.
Ditegaskan Sebby, kelompoknya tidak akan menyerah untuk "revolusi total" merebut kembali kemerdekaan.
Kendati begitu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut jumlah kelompok tersebut hanya 30 hingga 50 orang dengan kekuatan 20 pucuk senjata. Senjata itu mereka dapat antara lain dengan merampas anggota aparat TNI/Polri yang lengah, dari pelaku konflik Ambon di Maluku, dan melalui jalur ilegal di perbatasan Papua Nugini.
Baca Juga: Apakah Benar Hal Ini yang Jadi Akar Penyebab Kerusuhan Warga di Manokwari?
Sementara faksi-faksi bersenjata merupakan inti simbolis yang penting bagi gerakan prokemerdekaan, jaringan yang lebih moderat secara aktif melakukan tekanan kepada pemerintah pusat. Sama halnya dalam faksi bersenjata, hubungan antara kelompok ini sering ditandai oleh permusuhan dan kekacauan.
Namun pada 2014 dibentuklah Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat atau ULMWP yang terdiri dari Otoritas Nasional Papua Barat (WPNA), Koalisi Nasional untuk Pembebasan Papua Barat (WPNCL) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
Sementara dua kelompok yang pertama percaya mereka memiliki legitimasi lebih karena akar mereka dalam gerakan yang lebih tua, termasuk OPM bersenjata, KNPB sejak 2008 menunjukkan kemampuan yang jauh lebih besar untuk memobilisasi protes di Papua.
Tahun lalu, Benny Wenda, juru bicara ULMWP mengklaim menyerahkan petisi ke PBB, yang antara lain mengharapkan Papua masuk kembali dalam daftar di Komite Dekolonisasi PBB, setelah dikeluarkan dari daftar tahun 1963 menyusul hal yang disebut sebagai invasi Indonesia.
Petisi itu diklaim ULMWP sudah diserahkan kepada Komite Dekolonisasi PBB yang dikenal pula dengan Komite 24 di New York, Selasa (26/09). Disebut pula petisi yang didukung 1,8 juta tanda tangan itu -sebanyak 95,77% disebut merupakan warga asli Papua Barat dan sisanya adalah para pemukim Indonesia di Papua- yang mewakili sekitar 70% dari total warga asli Papua Barat.
Peneliti kajian Papua di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elizabeth gerakan prokemerdekaan Papua merupakan imbas dari perlakuan tidak adil yang diterima masyarakat Papua dari pemerintah Indonesia yang dianggap represif.
"Kekerasan yang terjadi sudah pasti adalah ekses, tapi target sasarannya memang TNI. Yang di bayangan mereka selama ini, kehadiran negara dalam sosok TNI itu penuh dengan repressiveness. Itu sebuah akumulasi ingatan, pengalaman. Akar persoalannya di situ," kata dia.
Dalam buku Papua Road Map yang diterbitkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2009 disebut akar masalah Papua meliputi: peminggiran, diskriminasi, termasuk minimnya pengakuan atas kontribusi dan jasa Papua bagi Indonesia, tidak optimalnya pembangunan infrastruktur sosial di Papua, khususnya pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan rendahnya keterlibatan pelaku ekonomi asli Papua, proses integrasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang belum tuntas.
Baca Juga: Lihat Foto-foto Keindahan Papua, Bianglala Surgawi di Khatulistiwa
Selain itu, siklus kekerasan politik belum tertangani, bahkan meluas dan pelanggaran HAM yang belum dapat diselesaikan, khususnya kasus Wasior, Wamena, dan Paniai.
"Pembangunan konektivitas infrastruktur menjadi pintu masuk untuk penyelesaian masalah sosial yang dibutuhkan oleh masyarakat Papua. Saya memahami itu sebagai pemenuhan HAM untuk aspek sosial, budaya dan juga ekonomi," ujar Adriana.