Follow Us

Sempat Muncul Sentimen Anti Jawa, Soekarno Genjot Pembangunan Jakarta. Tapi, Mengapa Masalah Itu Tetap Sulit Dipecahkan?

Bayu Dwi Mardana Kusuma - Minggu, 01 September 2019 | 06:57
Lanskap kota Jakarta.
Thinkstock

Lanskap kota Jakarta.

Fotokita.net - Susan Blackburn dalam bukunya, Jakarta, Sejarah 400 Tahun, menuliskan, ”Sebagaimana Belanda telah dua kali membangun Batavia baru, pertama di Kota dan kemudian di Gambir, pada era ini Soekarno juga memindahkan poros utama kota. Ia bertekad memberikan gambaran modern bagi Jakarta merdeka yang difokuskan di Jalan Thamrin yang membentang dari sudut barat daya Lapangan Merdeka menuju Jalan Sudirman dan Kebayoran Baru. Daerah ini bersih dari konotasi kolonial, serta akan menampilkan karya-karya hebat para arsitek dan kontraktor Indonesia.”

Kutipan pidato Soekarno pada tahun 1962 memperkuat pernyataan Blackburn. Sebagian kutipannya, yaitu, ”Berikan Djakarta satu tempat yang hebat di dalam kalbu rakyat Indonesia sendiri, sebab Djakarta adalah milik daripada orang-orang Djakarta. Djakarta adalah milik daripada seluruh bangsa Indonesia. Bahkan Djakarta jadi mercusuar daripada perjuangan seluruh umat manusia. Ya, the New Emerging Forces.”

Monumen Proklamasi Kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur yang dianggap terlalu sederhana digantikan dengan Monumen Nasional atau Monas yang megah dan menjadi pusat kota Jakarta.

Soekarno, seperti dipaparkan oleh Blackburn, memerintahkan dibangunnya gedung kaca enam lantai di bekas Monumen Proklamasi Kemerdekaan untuk menyimpan cetak biru proyek besar pembangunan Indonesia.

Baca Juga: Terungkap, Alasan Warga yang Bangun Rumah di Atas Rawa yang Penuh Sampah. Apakah Ibu Kota Pindah dari Jakarta Bikin Mereka Tambah Merana?

Pemandangan laut dengan latar belakang gedung bertingkat yang diselimuti asap polusi di Jakarta Utara, Rabu (31/7/2019). Berdasarkan data situs penyedia peta polusi daring harian kota-kota besar di dunia AirVisual, menempatkan Jakarta pada urutan pertama kota terpolusi sedunia pada Senin (29/7) pagi
KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemandangan laut dengan latar belakang gedung bertingkat yang diselimuti asap polusi di Jakarta Utara, Rabu (31/7/2019). Berdasarkan data situs penyedia peta polusi daring harian kota-kota besar di dunia AirVisual, menempatkan Jakarta pada urutan pertama kota terpolusi sedunia pada Senin (29/7) pagi

Ada foto yang memperlihatkan Soekarno dan maket-maket kompleks Asian Games di Senayan, Planetarium di Taman Ismail Marzuki, Jembatan Semanggi, rancangan penataan Jalan MH Thamrin, hingga Taman Ria Ancol.

Jakarta juga dilengkapi dengan Monumen Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng dan Patung Selamat Datang di dekat Hotel Indonesia. Ada Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral yang berdampingan. Refleksi kebinekaan Indonesia, representasi identitas dan persatuan bangsa dalam kerangka nation and state building diupayakan lewat simbol-simbol tersebut.

Dengan banyaknya proyek pembangunan di Jakarta dan masih bergolaknya sebagian wilayah di luar Ibu Kota, migrasi penduduk dari daerah ke pusat negeri ini terus terjadi. Seperti dikutip dari Djakarta Dalam Angka 1969, penduduk Jakarta pada 1948 sekitar 823.000 jiwa dan membengkak menjadi 3.813.000 pada 1965.

Baca Juga: Mengapa Taman Kajoe Jadi Tempat Favorit Artis Gelar Pesta Pernikahan di Jakarta? Yuk, Lihat Foto-Fotonya!

Pedagang memanfaatkan trotoar untuk berjualan hewan kurban di Jalan KH Mas Mansyur, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (7/8/2019). Kambing yang didatangkan dari daerah di Jawa Tengah tersebut ditawarkan antara Rp 2,5 juta hingga Rp 6,5 juta, tergantung beratnya kambing.
KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pedagang memanfaatkan trotoar untuk berjualan hewan kurban di Jalan KH Mas Mansyur, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (7/8/2019). Kambing yang didatangkan dari daerah di Jawa Tengah tersebut ditawarkan antara Rp 2,5 juta hingga Rp 6,5 juta, tergantung beratnya kambing.

Survei 1953 terhadap imigran menghasilkan fakta bahwa mereka ke Jakarta karena alasan ekonomi. Pada tahun 1957 saja, diperkirakan ada 10.000 orang yang setiap hari pergi pulang Bogor-Jakarta dengan menggunakan kereta api untuk bekerja. Sensus 1961 menunjukkan, sebanyak 16 persen angkatan kerja Jakarta sebagai pegawai negeri.

Namun, upaya memenuhi fasilitas kota berjalan lambat, berbanding terbalik dengan ledakan penduduk Jakarta juga dengan proyek mercusuar yang dikerjakan di Ibu Kota itu.

Bobroknya layanan transportasi publik sudah ada sejak dekade awal pasca-kemerdekaan. Selain itu, masalah kebutuhan perumahan juga terus menggumpal membesar dan sulit dipecahkan.

Baca Juga: Pemprov DKI Luncurkan e-Uji Emisi. Mampukah Tekan Polusi Udara Jakarta? Foto-Foto Ini Buktinya

Karyawan berada diluar gedung perkantoran sesaat setelah terjadi gempa di kawasan Sudirman, Jakarta, Jumat (2/8/2019). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut gempa tersebut memiliki Magnitudo 7,4 dan berpusat di wilayah barat daya Sumur, Banten.
ANTARA FOTO

Karyawan berada diluar gedung perkantoran sesaat setelah terjadi gempa di kawasan Sudirman, Jakarta, Jumat (2/8/2019). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut gempa tersebut memiliki Magnitudo 7,4 dan berpusat di wilayah barat daya Sumur, Banten.

Pemerintah membangun kawasan Kebayoran Baru dengan prioritas untuk perumahan pegawai negeri. Dari 1948 hingga 1956, disebut baru 6.033 rumah yang selesai dibangun di Kebayoran Baru dan sebagian besar untuk pegawai negeri. Sementara pada 1952, tercatat pejabat kota Jakarta menyebut sudah ada 30.000 permukiman ilegal di sana dan meningkat menjadi 70.000 permukiman ilegal di tahun 1957. Diperkirakan ada 275.000 orang yang tinggal di rumah-rumah tak sehat.

Apa yang terjadi di Jakarta mengundang kritik dari dari dalam dan luar negeri. Terpusatnya pembangunan di ibu kota menyedot begitu banyak dana pemerintah pusat yang memicu bias seakan pemerintah hanya mengutamakan Jawa dibanding daerah lain.

Blackburn memaparkan bahwa sentimen anti-Jawa menguat dan pada 1955 sempat ada kampanye di parlemen untuk memindahkan ibu kota ke tempat lain. Baru pada 1960, Soekarno mengakhiri polemik dengan menyatakan Jakarta akan tetap menjadi ibu kota negara.

Baca Juga: Ternyata Bukan Mobil, Jenis Kendaraan Inilah yang Sumbang Polusi Terbesar di Jakarta

Foto dirilis Jumat (26/7/2019), memperlihatkan suasana daratan Cilincing, Jakarta, terlihat dari atas Kapal MV Golden Ocean. Usaha belah kapal sudah puluhan tahun beroperasi di kawasan itu, dengan upah para pembelah kapal yang bervariasi, ada yang bertugas sebagai pemotong, pemilah besi, hingga hany
ANTARA FOTO

Foto dirilis Jumat (26/7/2019), memperlihatkan suasana daratan Cilincing, Jakarta, terlihat dari atas Kapal MV Golden Ocean. Usaha belah kapal sudah puluhan tahun beroperasi di kawasan itu, dengan upah para pembelah kapal yang bervariasi, ada yang bertugas sebagai pemotong, pemilah besi, hingga hany

Pusat pertumbuhan ekonomi

Disadari kemudian bahwa subsidi besar dari pusat untuk Jakarta tidak dapat terus dilakukan. Jakarta didorong agar mampu membiayai kebutuhannya sendiri dengan tetap menyandang status ibu kota. Kebijakan pemerintah saat itu adalah meningkatkan usaha swasta para penduduk setempat sebagai basis pertumbuhan ekonomi.

Sejumlah bisnis baru bermunculan di Jakarta pada awal 1950-an, termasuk industri film Indonesia. Nasionalisasi untuk menggantikan orang asing dalam perputaran ekonomi di negeri pun terus berlangsung.

Pemerintah, misalnya, mendirikan bank nasional Indonesia, membeli Scheepwerf atau Galangan Kapal Antjol milik Belanda pada 1952 dan pabrik General Motors milik Amerika Serikat pada 1955. Pada tahun itu, untuk pertama kali Indonesia memiliki perusahaan perkapalan dan manufaktur kendaraan bermotor.

Baca Juga: Foto-foto Ini Buktikan Jakarta Berada di Ambang Kelangkaan Air Minum

Warga beraktivitas di pemukiman padat penduduk di bantaran Sungai Ciliwung, Manggarai, Jakarta, Minggu (28/7/2019). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, persentase penduduk miskin DKI Jakarta pada Maret 2019 adalah 3,47 persen atau sebesar 365,55 ribu orang. Saat ini pemerintah
KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Warga beraktivitas di pemukiman padat penduduk di bantaran Sungai Ciliwung, Manggarai, Jakarta, Minggu (28/7/2019). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, persentase penduduk miskin DKI Jakarta pada Maret 2019 adalah 3,47 persen atau sebesar 365,55 ribu orang. Saat ini pemerintah

Pada 1957, gelombang besar nasionalisasi dengan pengambilalihan semua bisnis Belanda yang sebagian ada di Jakarta setelah terjadi kegagalan diplomasi dengan Belanda saat membahas Irian Barat (Papua Barat).

Peran pemerintah dalam menggerakkan ekonomi perkotaan di Jakarta dan sekitarnya amat mendominasi. Sesuai data Sensus 1961, mayoritas penduduk bekerja di bidang transportasi, pergudangan, perdagangan, dan pemerintahan. Pekerjaan terbesar bersifat padat karya karena sebagian besar industri di ibu kota ini masih menggunakan pekerja kasar.

Saat ini, tujuh dekade pasca-kemerdekaan, kondisi Jakarta secara fisik tentu telah banyak berubah. Namun, dalam isu-isu tertentu sedikit banyak tidak beranjak jauh dari masa lalu. Jakarta tetap sebagai ibu kota sekaligus pusat ekonomi Indonesia dengan berbagai masalah yang menyelimuti, mulai dari perumahan hingga transportasi.

Baca Juga: Kualitas Udara Jakarta Masih dalam Kategori Tak Sehat, Apa yang Sudah Dilakukan oleh Pemerintah?

Pemandangan padatnya kendaraan yang melintasi jalan M.H Thamrin di Jakarta Pusat, Senin (29/7/2019). Berdasarkan data situs penyedia peta polusi daring harian kota-kota besar di dunia AirVisual, menempatkan Jakarta pada urutan pertama kota terpolusi sedunia pada Senin (29/7) pagi dengan kualitas uda
KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemandangan padatnya kendaraan yang melintasi jalan M.H Thamrin di Jakarta Pusat, Senin (29/7/2019). Berdasarkan data situs penyedia peta polusi daring harian kota-kota besar di dunia AirVisual, menempatkan Jakarta pada urutan pertama kota terpolusi sedunia pada Senin (29/7) pagi dengan kualitas uda

Dengan 10 juta jiwa penduduk Jakarta dan sekitar 30 juta jiwa se-Jabodetabek, Ibu Kota masih menjadi magnet pergerakan ekonomi. Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek atau BPTJ menyebutkan bahwa sesuai hasil penelitian Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration (JUTPI) fase 2, pada 2018 hingga 2029, jumlah perjalanan di Jabodetabek mencapai 100 juta perjalanan per hari. Perjalanan itu sebagian dilakukan untuk kegiatan ekonomi, termasuk pergi dan pulang kerja.

Jakarta kini dan sekitarnya—sudah menjadi pengetahuan publik—memang sarat masalah tak jauh beda dengan di masa-masa awal kemerdekaan dulu. Dari data Kementerian PPN/Bappenas, Jakarta dan Jabodetabek berpotensi terkena gempa-tsunami megathrust. Selain itu, kawasan ini juga mengalami keterbatasan suplai air baku dan penurunan muka tanah, soal ancaman banjir sudah menjadi bencana tahunan, hingga kemacetan tinggi dan kualitas udara tak sehat yang terus membelenggu.

Meskipun demikian, Jakarta tetap menjadi pusat segalanya. Bappenas mencatat Jakarta menjadi pusat perdagangan, pusat jasa keuangan, pusat jasa perusahaan, pusat administrasi pemerintahan dan pertahanan, pusat jasa pendidikan, serta pusat industri pengolahan.

Bias bahwa pembangunan terpusat di Jakarta dan Jawa masih kuat.

Baca Juga: Polusi Udara Jakarta Tambah Kejam, Warga Negara Ramai-ramai Gugat Presiden, Menteri dan Gubernur

Penumpang terpaksa turun dari kereta rel listrik (KRL) yang berhenti di perlintasan Bukit Duri Jakarta Selatan, akibat padamnya listrik, Minggu (4/8/2019). Aliran listrik di Banten, Jabodetabek hingga Bandung terputus akibat adanya gangguan pada sejumlah pembangkit di Jawa. TRIBUNNEWS/HERUDIN
TRIBUNNEWS

Penumpang terpaksa turun dari kereta rel listrik (KRL) yang berhenti di perlintasan Bukit Duri Jakarta Selatan, akibat padamnya listrik, Minggu (4/8/2019). Aliran listrik di Banten, Jabodetabek hingga Bandung terputus akibat adanya gangguan pada sejumlah pembangkit di Jawa. TRIBUNNEWS/HERUDIN

Sedia payung

Untuk itu, keputusan memindahkan ibu kota ke daerah lain disertai upaya membenahi Jakarta dan dibangun murni menjadi pusat bisnis dan ekonomi bisa jadi adalah kebijakan yang tepat. Meskipun demikian, kajian detail dan penuh pertimbangan berdasarkan fakta serta penelitian yang memadai tentu harus menjadi dasar kebijakan tersebut.

Apalagi, seperti dipaparkan Menteri PPN/Bappenas Bambang Brodjonegoro saat bertandang ke harian Kompas, Rabu (28/9/2019), pemerintah pusat telah memiliki kebijakan pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK) dan kawasan industri (KI), juga pengembangan kawasan metropolitan dan kota baru. Kebijakan itu kini dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan. Kebijakan pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur dan program urban regenerasi bagi Jakarta akan turut mendorong kebijakan pembangunan yang telah ada.

Baca Juga: Gempa Banten Bikin Panik, Warga Jakarta Berhamburan dari Gedung Tinggi Hingga Orang Banten Keluar Bawa Infus. Lihat Rekaman Fotonya!

Suasana berbagai bangunan terlihat samar karena kabut polusi di Jakarta Pusat, Senin (8/7/2019). Kualitas udara di DKI Jakarta memburuk pada tahun ini dibandingkan tahun 2018. Prediksi ini berdasarkan pengukuran PM 2,5 atau partikel halus di udara yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron (mikromet
KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Suasana berbagai bangunan terlihat samar karena kabut polusi di Jakarta Pusat, Senin (8/7/2019). Kualitas udara di DKI Jakarta memburuk pada tahun ini dibandingkan tahun 2018. Prediksi ini berdasarkan pengukuran PM 2,5 atau partikel halus di udara yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron (mikromet

”Pemindahan ibu kota negara ke luar Jawa akan mendorong pemerataan pembangunan. Lebih dari 50 persen wilayah Indonesia akan merasakan peningkatan arus perdagangan, yaitu perdagangan di dalam provinsi ibu kota baru dan perdagangan antara provinsi di Indonesia khususnya dari Pulau Jawa ke provinsi luar Jawa, juga antarprovinsi di luar Jawa,” kata Bambang Brodjonegoro.

Target besar dan mulia ibu kota baru di Kalimantan Timur sedikitnya bakal menyedot Rp 466 triliun dan melibatkan lahan hingga 180.000 hektar. Ada ratusan ribu orang yang akan dipindahkan, warga lokal juga bentang alam, vegetasi serta fauna lokal pasti akan terimbas. Perubahan bakal turut dirasakan di seluruh negeri.

Baca Juga: Berjarak Sekitar 6 Kilometer dari Istana Negara, Tepi Kali Ciliwung Tunjukkan Potret Jakarta Nan Getir

Foto aerial suasana perumahan yang berada di atas mal Thamrin City, Jakarta, Rabu (26/6/2019). Keberadaan perumahan bernama Cosmo Park di atas pusat perbelanjaan Thamrin City ini menjadi bahan perbincangan warganet sejak Selasa kemarin setelah fotonya tersebar di media sosial, terdiri dari lima blok
ANTARA FOTO

Foto aerial suasana perumahan yang berada di atas mal Thamrin City, Jakarta, Rabu (26/6/2019). Keberadaan perumahan bernama Cosmo Park di atas pusat perbelanjaan Thamrin City ini menjadi bahan perbincangan warganet sejak Selasa kemarin setelah fotonya tersebar di media sosial, terdiri dari lima blok

Untuk itu, tentu dibutuhkan perencanaan matang berdasarkan penelitian dan kajian yang tidak boleh serampangan. Dibutuhkan kesanggupan memitigasi potensi dampak baik dan buruk baik saat kini maupun nanti. Merangkul partisipasi publik dalam mengelola ruang termasuk ruang kota baru atau ibu kota baru juga penataan Jakarta ke depan adalah keniscayaan.

Baca Juga: Jakarta Siapkan Peta Jalan Urusan Sampah, Surabaya Punya Contoh Aksi Nyata. Pantaskah Kita Bandingkan Data Kelola Sampah Dua Kota Besar Ini?

Untuk itu, menarik kesimpulan yang tidak tepat seperti melihat Jakarta sebagai Batavia tidak seharusnya terjadi, apalagi menjadi salah satu landasan kebijakan. Bisa jadi ini menunjukkan kurang matangnya kajian yang dilakukan, dan hal-hal seperti ini jika terus dianggap sepele dapat menjadi masalah besar di kelak kemudian hari. (Penulis: Neli Triana/Kompas.id)

Source : kompas.id

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma

Baca Lainnya

Latest