Follow Us

Sempat Muncul Sentimen Anti Jawa, Soekarno Genjot Pembangunan Jakarta. Tapi, Mengapa Masalah Itu Tetap Sulit Dipecahkan?

Bayu Dwi Mardana Kusuma - Minggu, 01 September 2019 | 06:57
Lanskap kota Jakarta.
Thinkstock

Lanskap kota Jakarta.

Sejumlah bisnis baru bermunculan di Jakarta pada awal 1950-an, termasuk industri film Indonesia. Nasionalisasi untuk menggantikan orang asing dalam perputaran ekonomi di negeri pun terus berlangsung.

Pemerintah, misalnya, mendirikan bank nasional Indonesia, membeli Scheepwerf atau Galangan Kapal Antjol milik Belanda pada 1952 dan pabrik General Motors milik Amerika Serikat pada 1955. Pada tahun itu, untuk pertama kali Indonesia memiliki perusahaan perkapalan dan manufaktur kendaraan bermotor.

Baca Juga: Foto-foto Ini Buktikan Jakarta Berada di Ambang Kelangkaan Air Minum

Warga beraktivitas di pemukiman padat penduduk di bantaran Sungai Ciliwung, Manggarai, Jakarta, Minggu (28/7/2019). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, persentase penduduk miskin DKI Jakarta pada Maret 2019 adalah 3,47 persen atau sebesar 365,55 ribu orang. Saat ini pemerintah
KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Warga beraktivitas di pemukiman padat penduduk di bantaran Sungai Ciliwung, Manggarai, Jakarta, Minggu (28/7/2019). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, persentase penduduk miskin DKI Jakarta pada Maret 2019 adalah 3,47 persen atau sebesar 365,55 ribu orang. Saat ini pemerintah

Pada 1957, gelombang besar nasionalisasi dengan pengambilalihan semua bisnis Belanda yang sebagian ada di Jakarta setelah terjadi kegagalan diplomasi dengan Belanda saat membahas Irian Barat (Papua Barat).

Peran pemerintah dalam menggerakkan ekonomi perkotaan di Jakarta dan sekitarnya amat mendominasi. Sesuai data Sensus 1961, mayoritas penduduk bekerja di bidang transportasi, pergudangan, perdagangan, dan pemerintahan. Pekerjaan terbesar bersifat padat karya karena sebagian besar industri di ibu kota ini masih menggunakan pekerja kasar.

Saat ini, tujuh dekade pasca-kemerdekaan, kondisi Jakarta secara fisik tentu telah banyak berubah. Namun, dalam isu-isu tertentu sedikit banyak tidak beranjak jauh dari masa lalu. Jakarta tetap sebagai ibu kota sekaligus pusat ekonomi Indonesia dengan berbagai masalah yang menyelimuti, mulai dari perumahan hingga transportasi.

Baca Juga: Kualitas Udara Jakarta Masih dalam Kategori Tak Sehat, Apa yang Sudah Dilakukan oleh Pemerintah?

Pemandangan padatnya kendaraan yang melintasi jalan M.H Thamrin di Jakarta Pusat, Senin (29/7/2019). Berdasarkan data situs penyedia peta polusi daring harian kota-kota besar di dunia AirVisual, menempatkan Jakarta pada urutan pertama kota terpolusi sedunia pada Senin (29/7) pagi dengan kualitas uda
KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemandangan padatnya kendaraan yang melintasi jalan M.H Thamrin di Jakarta Pusat, Senin (29/7/2019). Berdasarkan data situs penyedia peta polusi daring harian kota-kota besar di dunia AirVisual, menempatkan Jakarta pada urutan pertama kota terpolusi sedunia pada Senin (29/7) pagi dengan kualitas uda

Dengan 10 juta jiwa penduduk Jakarta dan sekitar 30 juta jiwa se-Jabodetabek, Ibu Kota masih menjadi magnet pergerakan ekonomi. Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek atau BPTJ menyebutkan bahwa sesuai hasil penelitian Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration (JUTPI) fase 2, pada 2018 hingga 2029, jumlah perjalanan di Jabodetabek mencapai 100 juta perjalanan per hari. Perjalanan itu sebagian dilakukan untuk kegiatan ekonomi, termasuk pergi dan pulang kerja.

Jakarta kini dan sekitarnya—sudah menjadi pengetahuan publik—memang sarat masalah tak jauh beda dengan di masa-masa awal kemerdekaan dulu. Dari data Kementerian PPN/Bappenas, Jakarta dan Jabodetabek berpotensi terkena gempa-tsunami megathrust. Selain itu, kawasan ini juga mengalami keterbatasan suplai air baku dan penurunan muka tanah, soal ancaman banjir sudah menjadi bencana tahunan, hingga kemacetan tinggi dan kualitas udara tak sehat yang terus membelenggu.

Meskipun demikian, Jakarta tetap menjadi pusat segalanya. Bappenas mencatat Jakarta menjadi pusat perdagangan, pusat jasa keuangan, pusat jasa perusahaan, pusat administrasi pemerintahan dan pertahanan, pusat jasa pendidikan, serta pusat industri pengolahan.

Source : kompas.id

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma

Baca Lainnya

Latest