Follow Us

Sempat Muncul Sentimen Anti Jawa, Soekarno Genjot Pembangunan Jakarta. Tapi, Mengapa Masalah Itu Tetap Sulit Dipecahkan?

Bayu Dwi Mardana Kusuma - Minggu, 01 September 2019 | 06:57
Lanskap kota Jakarta.
Thinkstock

Lanskap kota Jakarta.

Survei 1953 terhadap imigran menghasilkan fakta bahwa mereka ke Jakarta karena alasan ekonomi. Pada tahun 1957 saja, diperkirakan ada 10.000 orang yang setiap hari pergi pulang Bogor-Jakarta dengan menggunakan kereta api untuk bekerja. Sensus 1961 menunjukkan, sebanyak 16 persen angkatan kerja Jakarta sebagai pegawai negeri.

Namun, upaya memenuhi fasilitas kota berjalan lambat, berbanding terbalik dengan ledakan penduduk Jakarta juga dengan proyek mercusuar yang dikerjakan di Ibu Kota itu.

Bobroknya layanan transportasi publik sudah ada sejak dekade awal pasca-kemerdekaan. Selain itu, masalah kebutuhan perumahan juga terus menggumpal membesar dan sulit dipecahkan.

Baca Juga: Pemprov DKI Luncurkan e-Uji Emisi. Mampukah Tekan Polusi Udara Jakarta? Foto-Foto Ini Buktinya

Karyawan berada diluar gedung perkantoran sesaat setelah terjadi gempa di kawasan Sudirman, Jakarta, Jumat (2/8/2019). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut gempa tersebut memiliki Magnitudo 7,4 dan berpusat di wilayah barat daya Sumur, Banten.
ANTARA FOTO

Karyawan berada diluar gedung perkantoran sesaat setelah terjadi gempa di kawasan Sudirman, Jakarta, Jumat (2/8/2019). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut gempa tersebut memiliki Magnitudo 7,4 dan berpusat di wilayah barat daya Sumur, Banten.

Pemerintah membangun kawasan Kebayoran Baru dengan prioritas untuk perumahan pegawai negeri. Dari 1948 hingga 1956, disebut baru 6.033 rumah yang selesai dibangun di Kebayoran Baru dan sebagian besar untuk pegawai negeri. Sementara pada 1952, tercatat pejabat kota Jakarta menyebut sudah ada 30.000 permukiman ilegal di sana dan meningkat menjadi 70.000 permukiman ilegal di tahun 1957. Diperkirakan ada 275.000 orang yang tinggal di rumah-rumah tak sehat.

Apa yang terjadi di Jakarta mengundang kritik dari dari dalam dan luar negeri. Terpusatnya pembangunan di ibu kota menyedot begitu banyak dana pemerintah pusat yang memicu bias seakan pemerintah hanya mengutamakan Jawa dibanding daerah lain.

Blackburn memaparkan bahwa sentimen anti-Jawa menguat dan pada 1955 sempat ada kampanye di parlemen untuk memindahkan ibu kota ke tempat lain. Baru pada 1960, Soekarno mengakhiri polemik dengan menyatakan Jakarta akan tetap menjadi ibu kota negara.

Baca Juga: Ternyata Bukan Mobil, Jenis Kendaraan Inilah yang Sumbang Polusi Terbesar di Jakarta

Foto dirilis Jumat (26/7/2019), memperlihatkan suasana daratan Cilincing, Jakarta, terlihat dari atas Kapal MV Golden Ocean. Usaha belah kapal sudah puluhan tahun beroperasi di kawasan itu, dengan upah para pembelah kapal yang bervariasi, ada yang bertugas sebagai pemotong, pemilah besi, hingga hany
ANTARA FOTO

Foto dirilis Jumat (26/7/2019), memperlihatkan suasana daratan Cilincing, Jakarta, terlihat dari atas Kapal MV Golden Ocean. Usaha belah kapal sudah puluhan tahun beroperasi di kawasan itu, dengan upah para pembelah kapal yang bervariasi, ada yang bertugas sebagai pemotong, pemilah besi, hingga hany

Pusat pertumbuhan ekonomi

Disadari kemudian bahwa subsidi besar dari pusat untuk Jakarta tidak dapat terus dilakukan. Jakarta didorong agar mampu membiayai kebutuhannya sendiri dengan tetap menyandang status ibu kota. Kebijakan pemerintah saat itu adalah meningkatkan usaha swasta para penduduk setempat sebagai basis pertumbuhan ekonomi.

Source : kompas.id

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma

Baca Lainnya

Latest