Fotokita.net - Wacana hukum kebiri kimia pertama kali mencuat pada pemerintahan mantan presiden Susilo Bambang Yudhyono. Lantas pada Mei 2016, usulan ini kembali menguat menyusul kasus pemerkosaan terhadap Yuyun, seorang siswa SMP di Bengkulu. Yuyun menjadi korban oleh pelaku yang berjumlah 14 orang.
Pada 25 Mei 2016, Presiden Joko Widodo menandatangani Perppu tentang Perlindungan Anak yang menyebut tiga tambahan hukuman yakni kebiri kimia, pengumuman identitas ke publik, dan pemasangan alat deteksi elektronik. Jokowi berharap, Perppu itu membuat efek jera terhadap pelaku.
Namun demikian hukuman kebiri kimia menjadi problematis lantaran masih mendapat penolakan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Ilustrasi hukuman kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual
Ketua Majelis Pengembangan Profesi Kedokteran IDI, Pudjo Hartono, mengatakan pihaknya mendukung penghukuman seberat-beratnya terhadap pelaku kejahatan pemerkosaan dengan landasan dampak terhadap korban yang dialami seumur hidupnya.
Hanya saja, hukuman kebiri oleh dokter berarti melanggar sumpah dokter dan kode etik kedokteran Indonesia.
"Masalah hukuman tambahan yaitu kebiri yang rasanya buat kami dari IDI karena kita bekerja dalam koridor etik, sumpah, itu yang tidak memungkinkan," ujar Pudjo Hartono kepada BBC Indonesia.
"Saat kita melakukan kajian tahun 2016, dengan referensi macam-macam apakah tindakan dengan suntik itu bisa menyelesaikan masalah? Itu kan masih tanda tanya," sambungnya.
"Jadi intinya kita semua harus ketemu lagi untuk membahas masalah ini."