Punya Harta Duniawi Rp 1,5 Miliar, Orang Rimba Terpaksa Kubur Uangnya Dalam Tanah Gegara Hal Ini

Sabtu, 26 Juni 2021 | 13:00
Setkab RI

Suku Anak Dalam atau Orang Rimba saat bertemu Presiden Jokowi. Orang Rimba menguburkan uang Rp 1,5 miliar di dalam tanah hutan gegara alasan ini.

Fotokita.net - Bagi orang rimba hutan adalah tempat hidup yang menyediakan segala kebutuhan hidup. Bahkan, saat punya harta Rp 1,5 miliar, Orang Rimba pun menguburkan uangnya dalam tanah di hutan gegara alasan ini.

Keberadaan orang rimba sudah lebih dulu menghuni hutan pedalaman Jambi sebelum negara ini berdiri. Mereka hidup nyaman di dalam hutan secara turun-temurun. Pola tradisional ini membuat mereka merasa cukup atas jasa lingkungan yang disediakan hutan.

Sebaran orang rimba terbagi dalam dua lokasi, yakni orang rimba yang hidup di dalam kawasan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), lalu mereka yang tinggal dalam konsesi hutan tanaman industri (HTI) dan hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit.

Baca Juga: Warga Satu Indonesia Dijamin Baru Tahu, Tikus di Rumah Lari Terbirit-birit Cuma dengan Cabai, Ini Caranya

Populasi orang rimba menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2010 berjumlah 3.250 jiwa.

Namun berdasarkan survei Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warung Informasi Konservasi (Warsi) pada 2015 lalu, jumlahnya 4.065 jiwa.

Populasi orang rimba lebih dari 60 persen berada di wilayah konsesi HTI dan HGU perkebunan sawit yaitu 2.199 jiwa, kemudian di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) sebesar 1.866 jiwa.

Baca Juga: Habib Rizieq Sebut Staf Khusus Jokowi Terlibat Penembakan 6 Laskar FPI, Sunan Kalijaga Buru-buru Minta Rahasiakan Hal Ini

“Orang rimba yang di luar hutan tidak memiliki persediaan pangan lokal seperti gadung, benor,dan ubi. Tetapi makan mi, beras, dan roti. Ini yang membuat mereka kelaparan apabila tidak memiliki penghasilan. Mereka sangat bergantung pada uang,” ujar Manajer Komunikasi KKI Warsi, Sukma Reni.

Pada awal 2015 lalu, ada 11 orang rimba yang mati karena kelaparan. Sebab mereka tinggal di perkebunan perusahaan.

Di sana tidak tersedia makanan, seperti gadung, benor,dan umbi-umbian. Secara ekonomi, orang rimba yang berada di luar hutan sangat rentan dan membutuhkan penguatan ekonomi dari pemerintah dan industri keuangan.

Sebab mereka sudah terlepas dari hutan dan bersaing dengan masyarakat umum untuk mencari penghidupan. orang rimba telah menjadi korban perekonomian Indonesia.

Baca Juga: Fotonya Banjir Pujian, 6 Hal Sepele Ini Bikin Sofa Kulit Makin Awet dan Terawat Apik

Pada medio 1970 untuk kepentingan ekonomi kelompok transmigran, hutan orang rimba ditebang ratusan hektare. Selanjutnya, untuk perkebunan sawit dan HTI pada 1980 hutan habis dibabat.

Tutupan hutan orang rimba menyusut tajam selama dua dekade, yakni sekitar 130.308 hektare pada 1989, dan menghilang menjadi 60.483 hektare pada 2008.

“Kalau dihitung dari 1970, tentu angkanya lebih tinggi. Pada dua dekade ini, kehidupan orang rimba sangat sulit, karena mengubah kebiasaan yang awalnya ekonomi bergantung dengan hutan. Harus mencari penghidupan di luar hutan,” kata Reni.

Baca Juga: Se-Indonesia Nyesal Baru Tahu, Teh Bisa Digunakan untuk Membersihkan 5 Perabotan Rumah Ini

Instagram

Anak-anak Suku Anak Dalam atau Orang Rimba bermain di sungai. Orang Rimba menguburkan uang Rp 1,5 miliar di dalam tanah hutan gegara alasan ini.

Sejak hilangnya hutan menjadi HTI dan HGU perkebunan sawit, orang rimba hanya hidup dari berburu babi, mengumpulkan brondol sawit dan pinang, mencari petai, jengkol, sampai pengumpul barang bekas.

Bahkan sebagian dari mereka menjadi pengemis di desa, kota kabupaten, kota provinsi, serta terkadang juga sampai ke provinsi di luar Jambi seperti Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan. dan Bengkulu.

Aktivitas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari orang rimba, kata Reni, kerap kali menimbulkan permasalahan dan resistensi dari pihak perusahaan HTI dan perkebunan sawit serta masyarakat desa.

Tidak jarang pihak perusahaan dan masyarakat desa menyebut orang rimba sebagai penyakit sosial.

Baca Juga: Cara Mengusir Ular dari Rumah, 3 Bahan Dapur Ini Ternyata Bisa Dipakai

Mereka dianggap pencuri karena mengumpulkan brondol atau buah sawit yang jatuh saat panen. Sedangkan bagi orang rimba mengumpulkan brondol sawit, barang bekas, maupun hasil pertanian lainnya adalah bagian dari aktivitas budaya meramu orang rimba. Namun bagi pihak perusahaan dan masyarakat luar itu dianggap pencurian.

Adanya perbedaan budaya dan kesenjangan pengetahuan antara orang rimba dengan perusahaan dan masyarakat transmigrasi memunculkan konflik horizontal yang menelan korban jiwa.

Menurut catatan KKI Warsi, selama 20 tahun terakhir (1997-2017) terdapat 25 kali konflik antara orang rimba dengan masyarakat desa dan pihak perusahaan yang menewaskan sedikitnya 18 jiwa orang rimba.

Baca Juga: Fotonya Gampang Dicari, Tanaman Ini Ternyata Bisa Usir Jin dari Rumah, Zaidul Akbar Ungkap Faktanya

Instagram

Anak-anak Suku Anak Dalam atau Orang Rimba saat belajar baca tulis dan berhitung. Orang Rimba menguburkan uang Rp 1,5 miliar di dalam tanah hutan gegara alasan ini.

Semua konflik bermula dari hilangnya sumber daya penghidupan orang rimba. Lantaran mereka menjadi pengemis dan pemungut barang bekas. Kondisi ini kerap gesekan yang berunjuk pada konflik.

Selama ekonomi orang rimba tidak membaik dan timpang, maka dampak sosial dengan masyarakat desa akan sulit dikendalikan.

Selanjutnya, Antropolog KKI Warsi, Robert Aritonang menyebutkan, penebangan hutan untuk perkebunan sawit, HTI, dan lahan transmigrasi membuat kehidupan ekonomi orang rimba mengalami perubahan.

Pada awalnya, orang rimba menerapkan sistem barter dan tidak bergantung dengan uang dan sistem ekonomi.

Baca Juga: Cara Hilangkan Jamur Pada Kucing, Cukup Gunakan 2 Bahan Dapur Ini, Foto Kucing Kembali Memesona

Kala itu, orang rimba sangat tertutup dan membatasi diri dari dunia luar hutan. Namun pada 1970, ketika hutan habis dibabat, terjadi interaksi antara orang rimba dan orang luar.

Hal ini turut memengaruhi sumber ekonomi orang rimba yang bergantung pada hasil hutan terutama jernang, balam, rotan, madu, dan damar. Sedangkan untuk konsumsi, orang rimba berburu dan bertanam ubi kayu.

Semua itu semakin sulit dilakukan di hutan. Selain orang rimba kesulitan beradaptasi dengan perubahan, mereka menerima tekanan diskriminasi dalam aspek ekonomi.

Baca Juga: Fotonya Bikin Gemas, Ini Fakta Kucing Birman yang Asal Usulnya Masih Misteri

Instagram

Anak-anak Suku Anak Dalam atau Orang Rimba berjalan di hutan. Orang Rimba menguburkan uang Rp 1,5 miliar di dalam tanah hutan gegara alasan ini.

Bahkan harus menghadapi serbuan kapitalisme seperti perusahaan yang dimiliki konglomerat dari Astra, Sinarmas, Asian Agri, dan Royal Lestari Utama (RLU).

“Semua hutan dan lahan menjadi hak konsesi perusahaan. Jadi ini namanya diskriminasi dan penyingkiran secara masif dan terstruktur,” ucap Robert.

Dengan masuknya kapitalisme pada kelompok orang rimba, mereka dipaksa bergantung dengan uang. Terutama sejak perusahaan membuka hutan dan masuknya transmigran.

Hutan orang rimba tidak mungkin dikembalikan sedia kala, karena telah berubah menjadi perkebunan sawit dan akasia. Pilihan orang rimba agar tetap mampu bertahan adalah pertanian.

Baca Juga: Warga Satu Indonesia Dijamin Baru Tahu, Tikus di Rumah Lari Terbirit-birit Cuma dengan Cabai, Ini Caranya

“Ini butuh perubahan budaya. Dalam prosesnya sangat membutuhkan dukungan modal dari pemerintah dan pihak perusahaan agar orang rimba mampu beradaptasi jadi petani seperti masyarakat umum,” kata Robert.

Untuk saat ini, masih sulit menghimpun permodalan untuk mengembangkan ekonomi orang rimba melalui koperasi atau lembaga keuangan lainnya.

Sebab, perputaran uang di kelompok orang rimba masih sangat kecil. Untuk membeli kebutuhan sehari-hari saja, mereka sangat kesulitan. Makanya sebagian besar orang rimba tercatat sebagai penerima program Bantuan Sosial Tunai (BST) dari Kementerian Sosial.

Baca Juga: Pasti Nyesal Baru Tahu Sekarang, Sering Makan Buah Ini, Hidup Kita Jauh Lebih Bahagia

Setkab RI

Suku Anak Dalam atau Orang Rimba saat bertemu Presiden Jokowi. Orang Rimba menguburkan uang Rp 1,5 miliar di dalam tanah hutan gegara alasan ini.

Deretan persoalan ekonomi orang rimba seharusnya menjadi prioritas industri keuangan agar mereka mampu bersaing dan berdiri di kaki sendiri.

Sebaliknya perbankan tetap setia dengan kehati-hatian dan memandang orang rimba belum bankable. Hal ini memperlebar jurang perbedaan antara orang rimba dengan masyarakat umum dalam mengakses sektor keuangan.

Pengidas, orang rimba dari Kelompok Kedundong Mudo ini tergabung dalam usaha kerajinan tangan bentukan KKI Warsi yang juga pernah mengalami penolakan pihak bank.

Padahal, tangan terampil anak muda ini mampu membuat gelang dan kalung dari buah sebalik sumpah. Untuk membuat kerajinan kalung sebalik sumpah, dibutuhkan ketelitian, kesabaran, dan waktu 2-3 pekan.

Baca Juga: Utang Indonesia Makin Numpuk, Ustaz Yusuf Mansur Beli Bank Milik Hari Tanoe, Ternyata Modalnya Dari Sini

Kepiawaian lelaki berusia 21 tahun dan kelompoknya telah teruji. Saat pameran kerajinan tangan di Kota Sarolangun, semua produk usaha rumahan mereka ludes terjual.

Tidak hanya gelang dan kalung sebalik sumpah, ada juga tikar, ambung, dan tombak orang rimba yang sangat disukai masyarakat.

“Habis semua. Padahal mahal, satunya itu Rp 100.000. Semua orang suka dengan kerajinan tangan orang rimba,” kata Pengidas di kantor lapangan Warsi, Desa Bukit Suban. Ia menceritakan kesulitan untuk meminjam uang ke bank.

Baca Juga: 5 Potret Kontroversi Arie Kriting, Suami Indah Permatasari yang Ogah Jadi Mualaf, Ini Alasannya

Setkab RI

Suku Anak Dalam atau Orang Rimba saat bertemu Presiden Jokowi. Orang Rimba menguburkan uang Rp 1,5 miliar di dalam tanah hutan gegara alasan ini.

Sebelum mendatangi bank, perajin gelang sebalik sumpah harus memiliki KTP. Proses pembuatannya menurut mereka sangat sulit dan rumit.

Dari rumahnya di wilayah Kedundong Mudo, bagian tengah kawasan hutan TNBD, Pengidas berjalan kaki tiga jam ke kantor desa. Kemudian pergi ke Kota Sarolangun menggunakan sepeda motor selama 4-5 jam.

Namun, pihak bank menolak karena Pengidas masih menjalankan tradisi melangun atau hidup berpindah-pindah saat ada kematian. Tidak adanya rumah yang tetap membuat pihak bank tidak memproses pengajuan kreditnya.

Baca Juga: Banyak yang Belum Sadar, 7 Kesalahan Ini Bikin Mesin Cuci Cepat Rusak

“Kami ini memang pindah-pindah, tapi kalau lagi melangun saja. Berpindah pun sekarang hanya berputar-putar di kawasan TNBD inilah. Karena hutan sudah habis,” kata anak tertua dari tiga bersaudara ini.

Dirinya berharap pihak bank dapat membantu memulihkan ekonomi orang rimba yang terpukul karena pandemi.

Banyak orang rimba sekarang memilih membuat kerajinan tangan karena sudah mulai sulit mencari babi di dalam hutan. Harga babi di pasar pun terus mengalami penurunan.

Selama pandemi, pemerintah memang telah mengucurkan bantuan sosial tunai dari Kementerian Sosial.

Baca Juga: Terbukti Manjur, 5 Tanaman Ini Ampuh Basmi Tikus di Rumah Tanpa Racun

Dok. Warsi

Tumenggung Tarib atau H Jaelani, Orang Rimba yang menguburkan uangnya Rp 1,5 miliar di dalam tanah hutan gegara alasan ini.

Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warung Informasi Konservasi (Warsi) juga mengedukasi orang rimba untuk membuat kerajinan tangan dan memasarkan produk industri rumahan kepada masyarakat yang lebih luas.

Namun, mereka membutuhkan modal untuk meningkatkan produksi.

Sukma Reni dari KKI Warsi, menuturkan, orang rimba yang tinggal di dalam hutan mempunyai kehidupan ekonomi cukup, bahkan boleh dibilang kaya dalam artian terpenuhi semua kebutuhan hidupnya.

Pengertian kaya di orang rimba jauh berbeda dengan kaya untuk orang luar. Bagi orang rimba, kaya itu dengan terpenuhinya kebutuhan mereka, tersedia bahan pangan, dan jika membutuhkan bisa mengambilnya dengan mudah.

Baca Juga: Kasus Baru Corona Melonjak, Denny Darko: Semua Orang Akan Kena, Obatnya Cuma Satu

Dengan semakin menyempitnya hutan, orang rimba menjadi terpinggirkan. Mereka terpaksa hidup "menumpang" dalam perkebunan sawit maupun hutan tanaman industri (HTI).

“Mereka tidak punya sumber daya yang bisa diakses dengan bebas. kebutuhan mereka tidak tersedia. ini yang paling memprihatinkan,” kata Reni.

Atas kesulitan orang rimba, Warsi melakukan advokasi dan pendampingan agar bisa hidup sesuai dengan adat budaya dan keinginan mereka atas masa depan.

Baca Juga: Sudah Lama Pensiun, Mantan Gubernur DKI Jakarta Ini Dikabarkan Meninggal Dunia, Begini Faktanya

Bagi mereka yang menetap di hutan, diberikan penguatan pengembangan ekonomi. Contohnya pelatihan kecakapan hidup seperti produksi kerajinan tangan, sablon baju, dan budidaya jernang. Reni mencontohkan Kelompok Gentar di Sako Nini Tuo, Desa Sungai Jernih Kecamatan, Muara Tabir Tebo, Kabupaten Teb, yang hidup dengan adat dan budaya mereka.

Gentar juga mulai melakukan budidaya jernang di dalam kawasan hutan TNBD.

Pendidikan yang dilakukan Warsi adalah pendidikan alternatif untuk membebaskan orang rimba dari buta aksara sehingga mereka bebas dari perlakuan tidak adil.

Kalau untuk pendidikan yang berjenjang karier, Warsi menjembatani orang rimba untuk sekolah formal.

Apakah ada orang rimba yang berhasil dengan sekolahnya sehingga bisa bekerja di instansi pemerintah? Jawabannya ada.

Baca Juga: Dijamin Kapok Datang Lagi, Ini Cara Mengusir Kecoa dari Rumah Hanya dengan 3 Bahan Alami

Contohnya Budi yang jadi anggota TNI, lalu ada Besudut yang bekerja di kantor Kecamatan Tabir.

Orang rimba juga telah membentuk kelompok usaha rumahan, berupa kerajinan tangan dengan produk sebalik sumpah, tikar dari pelepah sawit, ambung dari rotan, dan kaus hasil sablon mereka sendiri.

Meskipun sudah membentuk kelompok UMKM, orang rimba belum mendapat kucuran dana hibah yang dijanjikan pemerintah.

Baca Juga: 6 Potret Aglonema Harlequin yang Bikin Kita Yakin Harganya Tembus Ratusan Juta

Dari 12 juta penerima dari UMKM yang tidak memenuhi persyaratan bank atau bankable, kelompok orang rimba tidak termasuk di dalamnya.

“Kami berharap ada bantuan dari pemerintah kepada UMKM rintisan di kalangan orang rimba,” terang Reni.

Bukit terjal menjadi benteng terakhir menuju hutan perawan. Di punggungnya terhampar kebun sawit berusia produktif. Hampir separuh tanaman sawit di bukit ini adalah milik Haji Jaelani. Dari kebun itu, dia mengantongi uang belasan juta rupiah setiap bulan dan menyimpannya dalam tanah di pedalaman hutan.

Satu dekade lalu, setiap mendapat uang dari menjual sawit dan karet, Jaelani menuju bukit tertinggi di tengah hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Jambi.

Baca Juga: Banyak yang Tak Sadar, 6 Faktor Ini Jadi Penyebab Warna Ikan Cupang Memudar

Dengan teliti, dia memilih tanah yang jauh dari aliran air ketika hujan, lalu mengubur uang puluhan juta rupiah dalam kantong plastik berwarna hitam.

Pada bagian atas kuburan uang itu, pria yang menerima penghargaan Kalpataru dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2006 ini membangun sudong atau pondok sementara tempat orang rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) tinggal.

Bangunannya terbuat dari atap terpal dengan lantai dari susunan kayu untuk memberi perlindungan kepada uang yang disimpan.

Baca Juga: Cara Mencegah Ular Masuk Rumah, Tanaman Ini Ternyata Bikin Satwa Melata Ogah Datang

Dia menyimpan uang di dalam tanah selama 2,5 tahun. Pertemuan Jaelani dengan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warung Informasi Konservasi (Warsi) membuat Jaelani mengenal bank.

Kala itu, Jaelani masih menyandang jabatan Tumenggung Air Hitam. Namanya masih Tarib.

Namun, setelah memeluk Islam, dia memakai nama Jaelani sampai sekarang. Setelah mengenal bank sebagai tempat menyimpan uang, lelaki yang berusia lebih dari 60 tahun ini membongkar "tabungan" dalam tanah. Dia membawa uang dalam jumlah sangat banyak ke bank di Kota Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi.

Saat dihitung, jumlah uangnya mencapai Rp 1,5 miliar. Namun, kala itu pihak bank menolak menyimpan uang Jaelani karena persyaratan untuk menyimpan uang di bank belum lengkap.

Baca Juga: Cara Pemupukan Agar Aglonema Cepat Beranak dan Bertunas Banyak, Fotonya Makin Memesona

“Saya tidak punya kartu tanda penduduk (KTP) dan alamat rumah saya hutan. Maka, saya disuruh orang bank membawa uang itu pulang,” kata Jaelani saat ditemui Kompas.com di rumahnya, di Desa Air Panas, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi, pertengahan Mei.

Ekspresi kecewa terlihat pada air muka lelaki rimba peraih Kehati Award ini saat menceritakan peristiwa tersebut.

Dia menyayangkan pihak bank tidak memiliki belas kasih dan tega melihatnya harus menyimpan uang sebanyak itu di dalam tanah.

Baca Juga: Aibnya Sampai Dikuliti di Media Sosial, Nama Asli Gofar Hilman di Akta Kelahiran Jadi Karma

Tentu taruhannya nyawa, tidur di dalam hutan yang gelap dengan uang miliaran rupiah bersamanya.

Dengan rasa takut, dia membawa uangnya pulang dan kembali memasukkan uang miliaran rupiah itu ke dalam tanah.

Kali ini tidurnya menjadi tidak lelap. Sebab, kabar dirinya memiliki uang yang sangat banyak telah tersiar hingga ke orang-orang yang tinggal di kampung transmigrasi yang berada di kaki Bukit Duabelas.

Beberapa bulan setelah ditolak bank, ada orang yang menawarkan kebun sawit.

Baca Juga: Mulai Sekarang, Jangan Simpan 5 Barang Ini di Kolong Tempat Tidur, Nyawa Seisi Rumah Jadi Taruhannya

Tanpa berpikir panjang, dia langsung membelanjakan separuh uangnya untuk membeli kebun tersebut.

Pria yang juga ahli obat-obatan tradisional ini membangun rumah di kampung, membaur bersama orang-orang transmigrasi.

Sisa uangnya digunakan untuk berangkat ke Mekkah, menunaikan ibadah haji bersama istri.

Setelah menetap di kampung, kebutuhan Jaelani pun terus bertambah. Berbeda ketika tinggal di hutan, yang bisa makan dari alam.

Baca Juga: Heboh Obat Cacing untuk Covid-19, Ternyata Corona Hilang Cuma dengan Terapi Sederhana Ini

Sekarang kebutuhan hidup membengkak karena harus membayar listrik dan pulsa, mengisi perabot rumah, dan memenuhi kebutuhan dapur selayaknya masyarakat umum.

“Kalau di hutan cuma butuh uang Rp 100.000, tapi kalau tinggal di dusun (kampung) bisa Rp 2 juta kita habis,” ucapnya dengan lirih.

Biaya hidup yang tinggi saat berada di permukiman membuat "tabungan tanah" Jaelani terkikis. Ditambah harga karet dan sawit merosot tajam.

Maka, pada 2014, Jaelani yang telah memiliki KTP dan rumah di kampung, serta sertifikat kebun sawit dan karet belasan hektar, kembali mendatangi bank.

Baca Juga: Warga Satu Indonesia Baru Tahu Kalau Pasta Gigi Jadi Cara Ampuh Bersihkan 7 Barang Rumah Ini

Dia bermaksud meminjam uang untuk keperluan penghijauan hutan yang kritis karena deforestasi. Lelaki ini hendak menanam jernang dan tanaman obat yang nyaris punah.

“Sekali lagi saya ditolak bank karena tidak ada penjamin (orang yang dipandang kaya dan tinggal di kampung untuk menjamin Jaelani saat meminjam uang),” ujarnya.

Orang rimba tidak pernah main-main dengan orang atau lembaga yang mengerti baca tulis dan pemerintah.

Artinya, mereka tidak pernah berkhianat dalam perjanjian karena takut dihukum.

“Kami tidak pernah membuat utang, kalau tidak sanggup membayar,” kata Jaelani lagi.

Baca Juga: Coba dari Sekarang, Memutihkan Gigi Kuning Cukup Pakai Kulit Buah Ini, Prosesnya Cuma 2 Menit

(*)

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma

Sumber : KOMPAS.com

Baca Lainnya