Fotokita.net - Grup kasidah Nasida Ria berhasil memukau penonton di acara seni rupa lima tahunan Documenta Fifteen yang digelar di Jerman. Nazla Zain anggota termuda grup kasidah asal Semarang, Jawa Tengah itu ternyata punya kebiasaan begini di panggung. Pantas dia berhasil bikin warga Jerman berebut foto bareng.
Bagi Nazla Zain tampil di acara festival Jerman itu menjadi panggung pertama bersama Nasida Ria di luar negeri. Asal tahu saja, Nazla mewakili generasi paling baru dalam grup kasidah nan legendaris itu. Menjadi anggota termuda, Nazla rupanya punya kebiasaan begini saat tampil di atas panggung.
Nazla cucu pendiri Nasida Ria, HM Zain berhasil menyihir warga Jerman. Penonton negara maju yang membeludak itu dengan senang hati menggoyangkan tubuh mengikuti irama kasidah yang didendangkan oleh 12 anggota Nasida Ria. Semula grogi dan deg-degan, Nazla Zain akhirnya mampu menaklukkan panggung luar negeri. Warga Jerman pun berebut foto bareng dengan vokalis Nasida Ria.
Grup kasidah Nasida Ria berdiri berkat tangan dingin HM Zain, seorang pemuka agama Islam di Semarang. Dia membentuk kelompok musik ini pada 1975. Zain mendorong murid-muridnya untuk bermusik di asrama miliknya di kawasan Kauman Mustaram no 58, Semarang.
Nama Nasida Ria dipilih yang berasal dari gabungan kata Nasida atau nyanyian serta Ria alias gembira. "Harapannya agar kami bisa berdakwah lewat musik dengan penuh kegembiraan," kata Rien Djamain salah seorang anggota generasi awal Nasida Ria.
Grup pelantun Perdamaian, lagu yang kemudian dipopulerkan kembali oleh band Gigi itu, lahir dari sebuah gang di Kauman, Semarang, bernama Mustaram. Di ujung gang tersebut ada rumah Haji Malik Zain, seorang muazin di Masjid Agung Kauman. Juga guru qiraah.
Setiap Jumat pagi teras rumah Zain, ayahanda Choliq, selalu penuh orang mengaji. Pesertanya mulai penduduk Semarang hingga luar kota. “Meluber sampai ke mulut gang,” kenang Felasufah Zain, putri bungsu Malik Zain.
Zain punya kemampuan mengagumkan dalam melafalkan ayat-ayat Alquran. Jiwanya penuh seni. Semarak dan penuh warna. Kalau sedang khusyuk berqiraah, tangan, leher, sampai dagunya pun ikut bergerak-gerak mengikuti naik turunnya nada.
Karena ingin lebih memperdalam ilmu qiraah, ada beberapa siswi peserta pengajian yang ingin tinggal bersama sang guru. Lantai 2 rumah Zain pun dirombak dan dimodifikasi untuk ruang belajar, kamar, dapur, serta ruang makan.
Ada sekitar 20 santri putri yang tinggal di asrama itu plus beberapa qari pria. Tapi, Zain tidak mau menyebut rumahnya sebagai pesantren. Jadi, sampai sekarang tidak ada nama untuk asrama yang telah melahirkan legenda musik Islami Indonesia itu. “Ya, sebutannya asrama Nasida Ria gitu aja,” tutur Fela.
Zain juga senang bermusik. Beberapa kali dalam sebulan qari kondang Muammar Zainal Asyikin dan beberapa sejawat mengunjungi Zain di rumah. Mereka biasanya mengobrol di teras. Bermain rebana bersama, gambusan, dan salawat.
Zain pun berpikir untuk menurunkan bakat bermusiknya itu kepada para santri putri. Musik, menurut Zain, bisa jadi strategi dakwah yang jitu.
Mulailah Zain menyeleksi puluhan santri putri di asrama Nasida Ria. “Syaratnya perempuan, suaranya bagus, belum punya pacar, usianya 13 sampai 15 tahun,” cerita Rien.
Akhirnya terpilihlah delapan santri putri sebagai anggota utama grup kasidah Nasida Ria. Satu orang anggota lagi adalah Mudrikah Zain, istri Zain. Angka 9 dipilih secara khusus.
Nasida berarti lagu Islami, ria bermakna yang semarak dan mengundang kegembiraan. “N A S I D A R I A, sembilan huruf sama dengan kanjeng Wali Sanga (sembilan wali penyebar Islam di Jawa, Red),” tutur Rien.
Pada 1975, resmi berdirilah Nasida Ria. Personelnya Mudrikah Zain, Mutoharoh, Rien Jamain, Umi Kholifah, Musyarofah, Nunung, Alfiyah, Kudriyah, dan Nur Ain. Di tiap lagu, lead vocal atau vokalis utama berganti-ganti. Yang lain menjadi backing vocal sembari memainkan instrumen.
Rien baru berusia 15 tahun saat itu. Dia mengenang bagaimana Zain menanamkan komitmen kepada sembilan personel, kalau ingin jadi musisi besar, harus istiqamah belajar. Zain pun mengajak mereka berziarah ke makam sembilan wali di seluruh Jawa. Lalu jalan-jalan. Sesekali menyantap kambing guling atau sate di rumah makan.
Awalnya Nasida Ria hanya bernyanyi dan memainkan rebana. Tahun 1980 Nasida Ria diundang untuk tampil di Pendapa Kota Semarang. Wali kota Semarang saat itu, Iman Soeparto Tjakrajoeda, jatuh cinta dengan lagu-lagu mereka. Dia pun menghadiahkan satu unit keyboard kepada Nasida Ria. Menyusul kemudian sebuah perusahaan rokok menghadiahkan gitar dan bas.
Permainan Nasida Ria pun semakin bervariasi. Rebana disandingkan dengan tambolin, ditambah seruling dan mandolin. Juga dua biola. Awalnya mereka bahkan memakai satu set drum. “Tapi, kemudian dibatalkan karena merusak nada biola dan serulingnya,” kata Choliq, putra kedua HM Zain.
Rien Djamain mengatakan, pada mulanya, mereka datang untuk belajar mengaji. Namun, HM Zain yang juga penyuka musik dan mengoleksi lagu-lagu Umi Kalsum, mencarikan guru musik agar para murid tidak bosan belajar.
"Pagi masak, lalu mengaji. Setelah waktu luang baru latihan. Waktu itu masih polos umur 15 tahun. Niat awal mengaji, karena bapak kreatif luar biasa. Dia mencari bibit-bibit yang bersuara bagus. Awalnya personel sembilan orang sesuai jumlah huruf Nasida Ria," kata pembetot bass gitar di Nasida Ria.
"Pak Zain mengajar tilawah di Gunungpati, saya muridnya. Banyak belajar tentang agama. Kalau ingin gabung Nasida Ria, mendaftar di Kauman. Alhamdulillah diterima," tambah Afuwah, personel generasi kedua.
Di luar perkiraan, anak-anak didik HM Zain ternyata mampu berkembang dalam bermusik. Awalnya mereka hanya memainkan lagu berbahasa Arab dengan iringan rebana. Kemudian mendapat hibah alat musik keyboard dan gitar.
"Dikembangkan Pak Zain dengan drum, kendang, seruling, biola dan tamborin. Setelah bisa memainkan biola, drum dihilangkan dan biola menjadi ciri khas Nasida Ria."
"Dulu alat musik semua dipegang. Semua mulai dari nol, kita dipanggilkan guru. Kemudian berkembang dikasih not balok, bisa dan latihan sendiri. 40 tahun saya nge-bass gitar," kenang Rien, satu-satunya personel generasi pertama yang masih bertahan.
Nasida Ria dapat kesempatan masuk dapur rekaman setelah HM Zain menerima tawaran dari Ira Puspita Record untuk membuat album musik. Namun, lagu-lagu yang dirilis di album kurang diminati karena mereka menyanyikan lagu gambus berbahasa Arab kental nuansa Timur Tengah.
"Dari album volume 1 hingga 4 belum ada yang meledak di pasaran. Kemudian bapak bertemu sahabatnya, KH Ahmad Buchori Masruri yang menyarankan untuk mengganti syair bahasa Arab agar pesan dakwah di lagu mudah dipahami," jelas Choliq Zain, putra kedua HM Zain.
K.H. Ahmad Buchori Masruri yang waktu itu Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Tengah kemudian membantu mengalihbahasakan syair bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Dengan menggunakan Abu Ali Haidar, ia juga menciptakan banyak lagu untuk Nasida Ria.
Sebelum Nazla Zain bergabung, Nasida Ria beranggotakan 11 personel dari generasi satu hinga tiga masih eksis dan sanggup menembus batas dengan teknologi digital. Mereka adalah Rien Djamain (bass gitar), Afuwah (kendang), Nadhiroh (biola), Nurhayati (biola ), Sofiatun (keyboard), Hamidah (seruling), Nurjanah (gitar), Uswatun Hasanah (gitar), Titik Mukaromah (gitar), Siti Romnah (piano), Thowiyah (kendang ). Semua personelnya minimal menguasai tiga jenis alat musik dan vokal sehingga dapat saling bergantian ketika pentas.
Choliq Zain, General Manager Nasida Ria, mengatakan Nasida Ria tetap produktif di saat pandemi dengan berbagai konten di platform digital termasuk mengisi acara di televisi swasta.
"Kalau pentas outdoor tidak boleh, harus pintar-pintar cari peluang. Manajemen membuat konser virtual di studio sendiri, lalu di-share ke YouTube," jelasnya seperti dilansir dari BBC News Indonesia.
Konser virtual sederhana menjadi strategi mendekatkan Nasida Ria pada pencinta musik segala umur. Sekaligus membuktikan grup musik kasidah modern asal Semarang ini tak redup dimakan zaman.
"Era digital harus berubah. Kalau tidak, kita ketinggalan zaman. Dulu kita jualan pakai kaset, CD, VCD, DVD, sekarang pakai YouTube. Ada banyak platform seperti Joox. Kalau ada yang bertanya tidak produksi, tidak tampil, sekarang klik bisa lihat ada vlog, kegiatan macam-macam," kata Choliq Zain.
Pria yang akrab disapa Gus Choliq itu menggantikan peran sang ayah, H M Zain, sosok di balik kesuksesan grup musik Nasida Ria.
Popularitas Nasida Ria melejit berkat lagu berjudul Perdamaian di album kelima yang dirilis tahun 1980an. Album ini sukses di pasaran dan menjadi tonggak kepopuleran Nasida Ria.
Kesuksesan berlanjut di album-album selanjutnya yang juga banyak melahirkan lagu hit. Sebut saja Palestina, Bom Nuklir, Jilbab Putih, Ratu Dunia, Indonesiaku, hingga Kota Santri.
Rien mengatakan, kepopuleran membuat jadwal Nasida Ria padat dengan jadwal pentas di berbagai tempat dan di layar kaca. Bahkan mereka pernah tampil di sejumlah negara seperti di Hongkong, Malaysia, dan Jerman.
"Acara banyak, acara besar semua termasuk kampanye. Diundang televisi, semakin melanglang buana ke Jerman diundang Kedutaan Jerman mewakili Indonesia. Dua kali ke Jerman, Hongkong, Malaysia," jelasnya bangga.
Hidup dari panggung ke panggung membuat Nasida Ria lebih banyak menghabiskan waktu bersama penggemar dan meninggalkan keluarga. "Masa jaya tahun 1980 sampai 1990-an pentas bisa berkali-kali. Kita pentas di Malaysia 16 hari. Ya, pergi beribadah dan dakwah lewat seni, tidak ada masalah. Semua tahu jika memperistri orang Nasida Ria rela ditinggal-tinggal," ujar Rien.
Nasida Ria tak sekadar eksis. Kelompok musik tersebut berupaya melakukan regenerasi dengan melahirkan Ezura, grup kasidah milenial dengan nuansa pop. Salah satu pendirinya adalah Nazla Zain, cucu HM Zain.
"Saya dan ayah membentuk grup untuk wadah regenerasi. Mulai dari nol kemudian terbentuk. Awalnya bernama Qasidah Tanpa Nama (QTN) kemudian muncul Ezura. Personel ini juga melewati proses penjaringan. Mereka belajar mengaji dan bermusik," jelas Nazla.
"Kalau di panggung diselingi dakwah. Ternyata banyak anak muda suka kasidah." Ternyata Nazla Zain anggota termuda Nasida Ria punya kebiasaan berdakwah saat tampil di panggung. Dia juga senang menyapa penontonnya dengan ramah.
Mewakili 11 rekan lainnya, Nazla menceritakan pengalamannya manggung di Jerman. Ia sempat merasa grogi karena panggung yang disediakan cukup besar dan penonton yang hadir membeludak.
"Awalnya grogi banget ya, deg-degan banget dengan panggung yang sebegitu besarnya dan penonton yang banyak banget," kata Nazla dilansir dari Kompascom, Selasa (21/6/2022). Kegugupan itu seketika hilang saat penonton ikut berjoget dalam alunan musik Nasida Ria.
"Tapi alhamdulillah grogi itu hilang begitu melihat penonton yang ikutan joget dan ngikutin irama walaupun ada yang enggak tahu artinya apa, tapi mereka ngikutin alunan lagunya, jadi asyik bareng," kata Nazla.
Sejak awal, Nasida Ria memang tak menyangka dengan animo tinggi yang ditunjukkan penonton di Jerman. "Reaksinya sangat antusias, alhamdulillah. Kita tidak menyangka bisa semeriah itu," kata Nazla.
Penampilan di Documenta Fifteen menjadi aksi ketiga Nasida Ria di Jerman. Sebelumnya, Nasida Ria pernah tampil di acara Die Garten des Islam (Pameran Budaya Islam) dan Festival Heimatklange di Berlin.
Sekalipun warga Jerman berebut foto bareng dengan dirinya, Nazla Zain belum berpuas diri. Masih banyak yang ingin dilakukan perempuan 26 tahun itu agar Nasida Ria bisa terus bertahan mengarungi zaman.
“Aku pengin lebih banyak lagi anggota anak-anak muda di Nasida Ria,” ujarnya saat ditemui di Semarang, Rabu (31/1/2018). Nazla adalah anggota termuda dalam line-up terkini Nasida Ria, grup kasidah legendaris Indonesia. Dia putri Choliq Zain, pemegang kendali manajemen grup musik Islami yang telah melahirkan banyak hit tersebut.
Dalam film dokumenter The Legend of Qasida besutan Nazla, Anne K. Rasmussen, peneliti musik dari AS, menyebut Nasida Ria sebagai grup kasidah modern paling terkenal di Indonesia. Meski mereka grup musik Islami, menurut Rasmussen, lagu-lagu mereka bicara tentang subjek yang luas. “Ada tentang perdamaian, keadilan, juga hak-hak perempuan,” kata Rasmussen yang mengoleksi kaset Nasida Ria sejak 1995 itu.
Seiring meninggalnya Zain karena kecelakaan lalu lintas pada 1992, Mudrikah pun mengambil alih kendali. Pada 2014, Mudrikah menyusul sang suami. Choliq-lah yang ganti mengendalikan manajemen.
Choliq menaruh perhatian besar kaderisasi dan regenerasi. Dia gencar mencari anak-anak muda di seantero Semarang dan Jawa Tengah. Tujuannya, melakukan pembibitan generasi keempat Nasida Ria dengan membentuk tim junior. Beranggota anak-anak SMP. “Saya akan bikinkan asrama dan tempat latihan khusus buat mereka,” tuturnya.
(*)
Penulis | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR