Namun, sekelumit catatan Febriana bisa menggambarkan kehidupan Ahok yang pernah menjadi korban isu SARA hingga memberi nama anak keduanya sesuai dengan arti ini.
Bukan bermaksud membuka luka lama pendukung Ahok yang kecewa dengan manuver kelompok tertentu mendeskreditkan kandidat mereka dengan isu SARA dan akhirnya mengantarkan idola mereka mendekam di penjara.
Tapi kasus Ahok ini menjadi pelajaran penting bukan saja bagi Indonesia, tapi dunia. Saya menyebutnya sebagai persekusi politik.
Persekusi politik dulu pernah menimpa kelompok kiri ketika Soeharto hendak meneguhkan kekuasaanya di Indonesia. Sejarah yang selalu disembunyikan oleh negara kita sendiri hingga hari ini.
Padahal jika mencari kelemahan Ahok untuk kampanye (tak perlu kampanye hitam), kelompok oposisi sangat mudah menemukannya. Misal soal penataan kota yang dinilai tidak partisipatif.
Toh kelompok oposisi juga sudah membina warga anti penggusuran (Dari penyelidikan Febriana, kelompok FPI merangkul warga korban penggusuran). Tapi kampanye partai oposisi menjadi sangat dangkal, berkelibat di urusan SARA.
Karena itu, tak heran jika sosok Ahok kemudian menarik perhatian media asing, salah satunya adalah Majalah Foreign Policy yang baru saja menobatkan ia sebagai pemikir global 2017.
Dalam tulisan Benjamin Soloway itu, Ahok digambarkan sebagai sosok yang punya program pasti untuk menata kota, meski tak semua rencana tata kotanya diamini warga yang tinggal di bantaran kali.