Pesawat perintis yang terbang dari sejumlah bandara besar di Papua juga bisa mendarat di landasan Kampung Danowage yang dibangun Ones, Trevor Johnson, dan sejumlah misionaris lainnya. Namun para pendulang tak menggunakan akses ini.
Dari Danowage, selain jalan kaki, akses menuju lokasi tambang dapat ditempuh dengan ketingting alias perahu kayu bermesin, selama delapan jam. Setelah menyusuri Sungai Deiram, perjalanan kembali dilanjutkan dengan berjalan kaki.
"Di lokasi saya melihat pendulang memiliki alkon. Saya melihat banyak emas," kata Ones.
Alkon yang disebutnya adalah mesin penyedot pasir dan kerikil berbahan bakar bensin. Penyaringan emas dalam mesin itu memerlukan merkuri, zat beracun yang telah dilarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Merujuk tragedi Minamata di Jepang tahun 1958, penggunaan merkuri pada aktivitas penambangan dapat memicu kelainan fungsi saraf pada tubuh manusia. Tahun 2013, Indonesia meneken Konvensi Minamata yang digagas Badan Lingkungan PBB (UNEP) sebagai komitmen mengelola penggunaan merkuri.
Harga beras di kawasan tambang emas tradisional di Korowai, tepatnya di Maining 33, Distrik Kawinggon, Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua, sangat mahal. Harga satu karung beras berukuran 10 kilogram mencapai Rp 2 juta.

Sejumlah orang mendulang emas menggunakan mesin penyedot pasir dan kerikil.
"Beras 10 kilogram itu emas empat gram, kalau dibeli dengan uang, satu karung itu harganya Rp 2 juta," kata salah satu pengelola Koperasi Kawe Senggaup Maining Hengki Yaluwo di Korowai, seperti dikutip dari Antara Rabu (1/7/2020).
Menurut Hengki, harga beras itu hampir sama di puluhan lokasi penambangan rakyat di wilayah Korowai, Kabupaten Pegunungan Bintang.
Hengki mengatakan, tak hanya beras yang mahal. Harga mi instan dan bahan pokok lainnya juga tinggi.