Pemerintah mengeklaim, penyusunan RUU tersebut sudah melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pengusaha dan buruh.
Melalui Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah, draf RUU tersebut diserahkan kepada DPR.
Pemerintah sempat mengubah nama RUU itu menjadi RUU Cipta Kerja. Kata "lapangan" dalam penamaan sebelumnya diputuskan untuk dihapus. RUU ini kemudian mulai dibahas DPR pada 2 April 2020 dalam Rapat Paripurna ke-13.
Sejak awal, RUU ini langsung mendapat penolakan dari sejumlah kalangan, khususnya kaum buruh. Sebab, banyak aturan yang dianggap bisa memangkas hak buruh dan menguntungkan pengusaha.
Pada 24 April, Presiden Jokowi mengumumkan pemerintah dan DPR menunda pembahasan RUU Cipta Kerja khusus untuk klaster ketenagakerjaan.
Keputusan diambil untuk merespons tuntutan buruh yang keberatan dengan sejumlah pasal dalam klaster tersebut.
Sebelum mengumumkan keputusan tersebut, Presiden Jokowi diketahui sempat bertemu dengan tiga pimpinan serikat buruh.
"Penundaan ini untuk memberikan kesempatan ke kita untuk mendalami lagi substansi dari pasal-pasal yang terkait dan juga untuk mendapatkan masukan-masukan dari para pemangku kepentingan," kata Presiden Jokowi.
Dengan keputusan penundaan tersebut, maka buruh pun membatalkan aksi unjuk rasa besar-besaran.
Klaster ketenagakerjaan akhirnya kembali dibahas oleh DPR dan pemerintah pada 25 September. Setelah itu pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR terus dikebut.