Hal ini sering terjadi pada kegiatan penangkapan ikan di wilayah atau pulau-pulau terpencil, seperti di Pulau Benjina dan pulau-pulau sekitarnya di Maluku.
Praktik semacam ini tak mudah diberantas karena proses perikanan ilegal dan pintu keluar-masuknya hasil produksi mereka adalah pelabuhan yang tidak diawasi dengan baik sesuai prosedur yang telah ditetapkan Kementerian Perhubungan.
Kedua, praktik suap dari pihak perusahaan kepada para petugas di lapangan.
Harian Kompas 7 Mei 2015, melaporkan adanya oknum pengawas dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang memantau usaha perikanan PT PBR sering melakukan pungutan liar.
Oknum pengawas perikanan mewajibkan tiap kapal yang mengajukan surat laik operasi (SLO) membayar Rp 250.000. Selain SLO, mereka juga mewajibkan setiap kapal ekspor membayar Rp 5 juta.
Praktik penyuapan kepada aparat Indonesia ini ternyata juga sudah dirilis lebih awal oleh Bangkok Post (26/3/2015) dalam berita berjudul ”Captain will fish in Indonesia waters”.
Dalam berita itu, Khomsan—operator kapal penangkap ikan Thailand yang pernah beroperasi selama 10 tahun di Indonesia—mengaku memberikan suap kepada oknum Angkatan Laut atau oknum Polisi Laut RI yang dia sebut sebagai biaya konsesi agar kapal yang disita oleh aparat Indonesia dikembalikan.
Besaran nilai suapnya 10 juta-20 juta baht (setara dengan Rp 4,0 miliar-Rp 8,0 miliar).
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan saat itu, Asep Burhanudin mengungkapkan, hasil investigasi ke Benjina, di Kepulauan Aru, tanggal 2-7 April 2015, menunjukkan modus utama indikasi perbudakan.

Sejumlah anak buah kapal bantu menyemprotkan air menggunakan mesin pompa ke dalam kapal nelayan Vietnam saat penenggelaman di Pulau Datuk, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, Sabtu (4/5/2019). Kementerian Kelautan dan Perikanan menenggelamkan 13 dari 51 kapal nelayan asing asal Vietnam.