Perusahaan sudah berdiri sejak tahun 2007 itu tersandung kasus dugaan perdagangan manusia dan dugaan praktik penangkapan ikan ilegal.
Kasus ini mencuat setelah kantor berita Associated Press (AP) menyiarkan hasil investigasi selama satu tahun mengenai nasib ribuan nelayan yang dipaksa menangkap ikan oleh PT PBR.

Para nelayan dari Burma melapor sebelum meninggalkan Benjina, di Pulau Aru, Jumat (3/4).
Berita perbudakan tersebut juga ditayangkan dalam bentuk laporan langsung di Channel 3 TV di Thailand tentang para korban perbudakan nelayan Thailand yang berhasil melarikan diri dari Benjina. Perbudakan tidak hanya terjadi di Benjina.
Dari investigasi di kawasan sekitar Kepulauan Aru, ditemukan juga dugaan praktik perbudakan terhadap nelayan oleh pemilik kapal-kapal asing yang terjadi di Wanam, Kaimana Panambulai, dan Avona.
Aktivitas perbudakan ini terjadi di beberapa pelabuhan yang jarang dilalui kapal biasa dan kapal pengawas.
Nelayan yang bekerja di Benjina 1.185 orang, sementara berdasarkan data dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), ada sekitar 4.000 nelayan yang bekerja sebagai budak di pulau-pulau sekitar Benjina.

Pekerja di Benjina, Indonesia, sedang mengangkut ikan hasil tangkapan untuk dikirim ke Thailand.
Praktik perbudakan ternyata memunculkan dua temuan pelanggaran lain yang sangat penting.
Pertama, adanya praktik perikanan ilegal, tak tercatat, dan tidak teregulasi.