Setelah Reformasi, keluarga Cendana keluar. Petral Oil menjelma menjadi Petral yang 99,9 persen sahamnya dikuasai oleh Pertamina. Para owner awal itu memang sudah tidak lagi ada di dalam Petral, tapi mereka bertransformasi sebagai trader yang basis bisnisnya adalah pengadaan minyak impor untuk Petral.
Sebetulnya, ada berapa pihak yang jadi trader untuk Petral?
Ini kami klarifikasi terus. Katanya selama ini ada sekitar 40 trader yang memasok Petral. Bisa jadi, puluhan perusahaan trading itu sebetulnya hanya dimiliki segelintir orang saja. Pemenang tender bergantian, seperti arisan.
Bagaimana lantas mengerucut ke satu nama: Muhammad Riza Chalid?
Sejarahnya dahulu berawal ketika Pak Ida Bagus Sudjana alm. (mantan Menteri Pertambangan dan Energi) mengumpulkan anak-anak muda dari ITB. Waktu itu marak sekali eksplorasi minyak. Mereka dikumpulkan agar putra-putri Indonesia sendiri yang mengelolanya. Niat awalnya baik, ada nasionalismenya.
Pada waktu itu staf kepercayaan Pak Sudjana adalah Purnomo Yusgiantoro (Menteri ESDM 2000-2009 dan Menteri Pertahanan 2009-2014). Jadi, perkenalan Pak Purnomo dengan Riza Chalid itu bermula pada saat itu.
Lalu terjadi turning point. Indonesia yang tadinya mengekspor minyak kemudian mulai mengimpor minyak pada tahun 2000. Nah, pada saat itulah mulai Riza Chalid menjadi importir minyak bersama dengan teman-temannya, termasuk Rosano Barack -- di bawah koordinasi Pak Purnomo. (Analis Bareksa.com sudah menghubungi Purnomo melalui SMS dan telepon untuk meminta tanggapannya, tapi belum mendapat respons)
Kenapa Pertamina sampai begitu bergantung pada kawanan trader ini?
Pertama, karena kilang pemrosesan minyak di Indonesia jumlahnya terbatas dan masih menggunakan teknologi lama.
Pertamina memiliki 7 kilang, tapi yang bisa beroperasi hanya 5. Dari yang beroperasi, hanya ada satu yang menggunakan teknologi baru, yakni Balongan, sehingga bisa menghasilkan minyak dengan RON tinggi -- jadi bisa memproduksi Premium dan Pertamax.