Fotokita.net - Pemerintahan Papua Barat bentukan OPM jadi sorotan, alasan ini bikin kita rindu pada sosok mantan Presiden RI saat tangani akar masalah Papua.
Nama Benny Wenda memang terdengar tidak asing lagi.
Ia disebut sebagai 'biang kerusuhan' yang kerap terjadi di Papua.
Benny Wenda adalah petinggi Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang lahir di Lembah Baliem tepat pada HUT Republik Indonesia 1974.
Wenda kemudian menjadi antipati dengan pemerintah Indonesia setelah dirinya mengklaim jika ada serangan udara yang membuat keluarganya menjadi korban.
Dirinya juga mengklaim akibat serangan udara itu kakinya putus satu.
Maka setelah rezim Soeharto tumbang, Benny Wenda lantas angkat senjata meminta papua merdeka walaupun keluarganya sendiri memilih bergabung dengan NKRI
Ia melakukan lobi-lobi kepada pemerintahan Indonesia.
Pada momentum peringatan HUT OPM 1 Desember, Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda mengumumkan, sejak hari ini pihaknya menyatakan pembentukan Pemerintah Sementara West Papua (menyangkut Papua dan Papua Barat).
Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP), telah menyusun konstitusi baru dan menominasikan Benny Wenda sebagai presiden sementara.
Bahkan, sejumlah media asing menyoroti deklarasi sepihak oleh ULMWP tersebut.
"Mulai hari ini, 1 Desember 2020, kami mulai menerapkan konstitusi kami sendiri dan mengklaim kembali tanah kedaulatan kami,” kata Wenda melalui siaran pers berbahasa Ingris yang dilihat di laman resmi ULMWP, Rabu (2/12/2020).
Benny juga menegaskan, sejak saat dideklarasikan, pihaknya tidak akan tunduk kepada pemerintahan Indonesia.
TPNPB Papua Merdeka mengirim surat terbuka ke Presiden Joko Widodo via YouTube.
Dalam keterangan pers disebutkan, pengumuman tersebut menandai intensifikasi perjuangan melawan pemerintahan Indonesia di wilayah tersebut, yang berlangsung sejak 1963.
"Pemerintahan baru yang sedang menunggu bertujuan untuk memobilisasi rakyat Papua Barat untuk mencapai referendum kemerdekaan, setelah itu akan mengambil kendali wilayah dan menyelenggarakan pemilihan umum yang demokratis. Represi Indonesia saat ini membuat pemilu menjadi tidak mungkin," demikian bunyi keterangan yang tertulis.
Langkah ini merupakan penolakan langsung terhadap upaya Jakarta untuk memperpanjang ketentuan 'Otonomi Khusus' di Papua Barat, lanjut pernyataan itu.
Benny Wenda
'Otonomi Khusus', yang pertama kali diberlakukan pada tahun 2001, akan berakhir pada akhir tahun, dan menjadi sasaran petisi massal yang disponsori oleh 102 organisasi masyarakat sipil di seluruh Papua Barat.
Tiga puluh enam orang ditangkap di Manokwari dan Sorong pada hari Jumat disebutkan karena mengibarkan bendera Bintang Kejora yang dilarang.
Benny menambahkan, konstitusi Sementara yang baru memusatkan perlindungan lingkungan, keadilan sosial, kesetaraan gender dan kebebasan beragama, serta melindungi hak-hak para migran Indonesia yang tinggal di Papua Barat.
"Konstitusi menetapkan struktur pemerintahan, termasuk pembentukan Kongres, Senat, dan lembaga yudisial," ujarnya
Ia mengklaim, pemerintah yang dibentuknya didukung oleh semua kelompok pembebasan di Papua Barat, mewakili mayoritas rakyat.
ULMWP menyampaikan Petisi Rakyat Papua Barat, yang ditandatangani oleh 70% Rakyat Papua, kepada Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB pada 2019.
Sementara itu, Benny Wenda yang saat ini berada di Inggris didapuk menjadi presiden sementara.
Sedangkan sisa kabinet akan diumumkan dalam beberapa bulan mendatang. Pemerintah Sementara menegaskan haknya untuk membuat Deklarasi Kemerdekaan Sepihak (UDI) pada waktu yang tepat, atas nama rakyat Papua Barat.
"Hari ini, kami menghormati dan mengakui semua nenek moyang kami yang berjuang dan mati untuk kami dengan akhirnya membentuk pemerintahan yang ditunggu. Mewujudkan semangat rakyat Papua Barat, kami siap menjalankan negara kami. Sebagaimana tercantum dalam Konstitusi sementara kami, Republik Papua Barat di masa depan akan menjadi Negara Hijau pertama di dunia, dan suar hak asasi manusia," jelas Benny Wenda.
Hingga saat ini, pemerintah belum memberikan respon atau mengambil sikap terkait deklarasi sepihak dari United Liberation Movement for West Papua.
Dalam wawancara kepada Majalah Tempo, Benny Wenda mengaku telah mengeluarkan surat edaran yang berisi instruksi agar rakyat Papua tak mengikuti upacara kemerdekaan.
Akan tetapi, Benny menyatakan bahwa aksi demonstrasi yang kemudian disertai kerusuhan di Papua dan Papua Barat dianggap sebagai spontanitas masyarakat di sana.
"Saya memang mengeluarkan surat edaran beberapa pekan sebelum selebrasi kemerdekaan Indonesia. Isinya menyerukan kepada rakyat Papua supaya tidak ikut upacara," ucap Benny.
"Tapi aksi di Surabaya yang merembet ke Papua itu spontanitas saja. Rakyat Papua yang bergerak," ujar dia.
Kepada Majalah Tempo, Benny Wenda juga mengkritik kebijakan Presiden Joko Widodo soal Papua yang masih menggunakan pendekatan militer.
Organisasi Papua Merdeka (OPM) meneror warga.
Benny Wenda memuji presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang melakukan pendekatan kemanusiaan.
Cara yang dilakukan Gus Dur antara lain mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua dan membolehkan pengibaran bendera Bintang Kejora selama bersanding dengan bendera Merah Putih.
"Hanya Gus Dur yang berani membela Papua. Dia juga menyebutkan Bintang Kejora sebagai lambang budaya kami," ujar Benny Wenda.
Pada akhir 2008, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menerbitkan buku "Papua Road Map" sebagai hasil penelitian pemetaan masalah utama di Papua.
Dalam penelitiannya, LIPI menyebut persoalan marjinalisasi, diskriminasi dan pelanggaran HAM sebagai bagian dari banyak isu utama di Papua.
Marjinalisasi dan diskriminasi dialami orang asli Papua, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial-budaya. Sedangkan, sampai hari ini belum ada masalah pelanggaran HAM yang diselesaikan secara adil, termasuk juga belum berhasil diputusnya siklus kekerasan di Papua yang dilakukan negara.
Baca Juga: Kerusuhan Juga Terjadi di Mimika, Apakah Perlu Status Darurat di Papua Barat?
Peringatan 100 Hari Gus Dur --- Mahasiswa asal Papua mengikuti karnaval budaya untuk memperingati 100 hari meninggalnya Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di Jalan Malioboro Yogyakarta, Sabtu (10/4). Dalam karnaval budaya yang dimotori oleh Kaum Muda Nahdlatul Ulama Yogyakarta tersebut ditampilkan atra
Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid mengatakan, Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebenarnya memiliki warisan dalam menyelesaikan persoalan di Papua. Gus Dur selalu mengedepankan dialog dalam menangani masalah di sana.
Ia berharap, pendekatan dialog juga diterapkan oleh pemerintah saat ini dalam menangani situasi setelah aksi unjuk rasa.
"Teladan ini perlu dicontoh sehingga warga Papua tidak lagi diperlakukan secara diskriminatif, didengar aspirasinya, serta dihargai martabat kemanusiaannya," ujar Alissa melalui keterangan tertulisnya, Selasa (20/8/2019).
Massa melakukan aksi di Jayapura, Senin (19/8/2019). Aksi tersebut untuk menyikapi peristiwa yang dialami mahasiswa asal Papua di Surabaya, Malang dan Semarang.
Semasa hidupnya, Gus Dur memberikan teladan tentang kepedulian akan situasi di Papua. Ia selalu mengedepankan dialog dengan melibatkan kepala suku dan tokoh agama dengan prinsip partisipatif, tanpa kekerasan dan mengutamakan keadilan.
Ia mencontohkan langkah Gus Dur untuk mengembalikan nama Papua sebagai nama resmi dan mengizinkan pengibaran bendera bintang kejora sebagai bendera kebangaan dan identitas kultural masyarakat Papua. Upaya tersebut merupakan bagian dari pendekatan dialog yang dilakukan oleh Gus Dur.
"Gus Dur selalu mengedepankan dialog dan pelibatan tokoh-tokoh non-formal, misalnya kepala suku dan pemimpin agama dengan prinsip partisipatif, non-kekerasan, dan adil," kata Alissa.
Sejumlah orang keluar dan mengangkat tangannya di Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan 10, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (17/8/2019). Sebanyak 43 orang dibawa oleh pihak kepolisian untuk diminta keterangannya tentang temuan pembuangan bendera Merah Putih di depan asrama itu pada Jumat (16/8/2019).
Jaringan Gusdurian menyadari sepenuhnya bahwa selama ini Papua sebagai tempat yang memiliki kekayaan alam melimpah justru menjadi kawasan yang tertinggal di Indonesia. Oleh sebab itu, keadilan dan perlakuan yang tidak setara masih terjadi di Papua hingga sekarang.
Dialog yang Setara
Putri Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid itu pun menegaskan bahwa masyarakat Papua harus dihargai martabatnya sebagai sesama warga negara Indonesia. Ia mengatakan, penyelesaian segala perbedaan harus dilakukan berdasar kesetaraan, keadilan dan kemanusiaan.
"Masyarakat Papua harus dihargai martabatnya sebagai sesama anak bangsa Indonesia yang mempunyai hak yang sama dan setara," tutur dia.
Peneliti LIPI Adriana Elisabeth sependapat. Ia menyarankan pemerintah membuka dialog yang selama ini tidak pernah dibicarakan bersama masyarakat Papua. Dialog dapat menjadi alat untuk mempertahankan suasana tetap damai.
"Jadi untuk jangka panjangnya, berdialoglah tentang apa yang selama ini menjadi ketidaksukaan Papua, atau ketidaksukaan non-Papua kepada Papua. Itu kan harus dibicarakan," ujar Adriana.
Tidak dipungkiri, kerusuhan di Manokwari merupakan buntut aksi protes dari persekusi dan diskriminasi yang dialami mahasiswa Papua di Jawa Timur. Oleh karena itu, Andriana mengingatkan semua pihak untuk berhati-hati dalam menyampaikan label Identitas.
"Karena isu soal identitas itu sangat sensitif apapun agama, suku dan sebagainya, itu dan ini masih masuk dalam pesan intoleransi. Jadi hati-hati kalau tidak dikelola dengan baik, orang akan mudah marah dan mudah tersinggung," kata dia.