Kali ini tidurnya menjadi tidak lelap. Sebab, kabar dirinya memiliki uang yang sangat banyak telah tersiar hingga ke orang-orang yang tinggal di kampung transmigrasi yang berada di kaki Bukit Duabelas.
Beberapa bulan setelah ditolak bank, ada orang yang menawarkan kebun sawit.
Baca Juga: Mulai Sekarang, Jangan Simpan 5 Barang Ini di Kolong Tempat Tidur, Nyawa Seisi Rumah Jadi Taruhannya
Tanpa berpikir panjang, dia langsung membelanjakan separuh uangnya untuk membeli kebun tersebut.
Pria yang juga ahli obat-obatan tradisional ini membangun rumah di kampung, membaur bersama orang-orang transmigrasi.
Sisa uangnya digunakan untuk berangkat ke Mekkah, menunaikan ibadah haji bersama istri.
Setelah menetap di kampung, kebutuhan Jaelani pun terus bertambah. Berbeda ketika tinggal di hutan, yang bisa makan dari alam.
Baca Juga: Heboh Obat Cacing untuk Covid-19, Ternyata Corona Hilang Cuma dengan Terapi Sederhana Ini
Sekarang kebutuhan hidup membengkak karena harus membayar listrik dan pulsa, mengisi perabot rumah, dan memenuhi kebutuhan dapur selayaknya masyarakat umum.
“Kalau di hutan cuma butuh uang Rp 100.000, tapi kalau tinggal di dusun (kampung) bisa Rp 2 juta kita habis,” ucapnya dengan lirih.
Biaya hidup yang tinggi saat berada di permukiman membuat "tabungan tanah" Jaelani terkikis. Ditambah harga karet dan sawit merosot tajam.
Maka, pada 2014, Jaelani yang telah memiliki KTP dan rumah di kampung, serta sertifikat kebun sawit dan karet belasan hektar, kembali mendatangi bank.