Tulisan itu dimuat di Kompas edisi 27 Februari 1994. Dalam tulisannya kala itu, Radhar Panca berpendapat bahwa sudah 2 dekade teater modern tidak punya penerus.
"Sebuah kenyataan, bahwa mereka yang dianggap wakil paling kuat dari kesenian ini adalah nama-nama yang sudah bertengger sejak 1970, bahkan sebelumnya.
Artinya, lebih dari dua dekade teater modern Indonesia tak melahirkan nama baru, kecuali kasus seperti Boedi S. Otong dan Dindon."
"Semua seolah memperlihatkan kegagalan para pionir teater modern di negeri ini, menyampaikan tongkat estafetnya pada mereka yang berlari di lintasan berikut.
Tongkat yang menyimpan sejarah, konsep, keyakinan estetik, kemampuan artistik dan sebagainya itu tersimpan baik di balik bantal, dan mungkin kini lapuk," tulisnya.
Sembari menyerukan keluh kesah terhadap mundurnya kebudayaan, Radhar Panca giat memperlihatkan kebudayaan terutama karyanya sendiri.
Cerpen, puisi, hingga panggung teater. Radhar Panca mengabdikan dirinya untuk seni dan budaya Indonesia.
Seperti pertunjukan teater-sastra "LaluKau" di mana Radhar Panca memanggungkan puisi-puisi karyanya pada 19 Februari 2020, aksi terakhirnya di pentas.
Perjuangan Radhar Panca tak hanya soal mempertahankan seni dan budaya itu sendiri.
Pada November 2019, ia dan rekan-rekannya sesama seniman di TIM menyatakan penolakan keterlibatan PT Jakarta Propertindo (Jakpro) untuk mengelola kawasan dan fasilitas di sana, termasuk wacana pembangunan hotel bintang lima.