BBC News Indonesia bertemu komunitas warga di Jakarta dan Pacitan, Jawa Timur, yang saat ini merasakan hidup dengan sumber air terbatas.
Pagi itu di akhir Juli lalu, Miratin melakukan aktivitas yang ia jalani sejak kanak-kanak. Warga Desa Klepu, Kecamatan Donorojo, Pacitan itu berjalan kaki naik-turun lanskap berbukit, menuju sebuah gua vertikal yang berjarak satu kilometer dari rumahnya.
Miratin dan keluarganya terbiasa mandi, mencuci baju, lalu membawa sebakul air bersih ke rumah. Rumahnya adalah satu dari 85 rumah di Desa Klepu yang tidak tersambung pipa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
"Kadang saya juga beli air, biasanya 20 liter seharga Rp500. Itu untuk masak dan mencuci. Sorenya saya beli lagi atau ambil ke gua." "Sebenarnya berat setiap hari harus ke gua. Tapi mau bagaimana lagi? Saya juga sudah terbiasa," ujarnya.
Sekitar 100 meter dari rumah Miratin sebenarnya terdapat satu sumur. Namun saat kemarau, tak ada air yang bisa ditimba dari sumur tersebut.

kekeringan di Bekasi. Foto oleh @aryadoyok
Merujuk pemetaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Jawa Timur termasuk provinsi yang paling terdampak kemarau panjang tahun 2019. Puluhan desa di Pacitan disebut bakal mengalami kekeringan akut Agustus hingga September mendatang.
Hujan yang semakin jarang turun juga mempengaruhi suplai air penduduk Desa Klepu di Pacitan yang telah terhubung leding, salah satunya Katini. "Sulit sekali mendapat air bersih di musim kemarau ini. Ada jaringan PDAM tapi airnya tidak keluar," tuturnya.
Katini dan sebagian besar tetangganya kini bergantung pada bantuan air bersih dari pemerintah. Karena bantuan datang tak tentu hari, mereka terpaksa membeli satu tangki air berisi 6000 liter seharga Rp330 ribu.
"Tidak (ada) air, hidup sulit, karena itu kebutuhan yang paling penting. Segala sesuatu butuh air," katanya.
Baca Juga: Kemarau Ekstrim Menimpa. Foto-foto Ini Kisahkan Betapa Keringnya India