Diusir dari Istana Negara, Bung Karno Pergi Cuma Bawa Bungkusan Koran, Soeharto Tak Sadar Ternyata Isinya Benda Pusaka Hingga Jadi Masalah

Minggu, 14 Februari 2021 | 18:50
Lutfi Fauziah

Presiden RI ke I Soekarno dan Jenderal Soeharto.

Fotokita.net - Dulu dielu-elukan hingga diusir dari Istana Negara, Bung Karno pergi cuma bawa bungkusan koran, Soeharto tak sadar ternyata isinya benda pusaka.

Kisah Soekarno dan Soeharto selalu menarik perhatian. Maklum, kedua pemimpin nasional itu telah mengisi tonggak sejarah sangat penting dalam perjalanan Indonesia.

Di antara Orde Lama dan Orde Baru, Indonesia mengalami dualisme kepemimpinan.

Dualisme kepemimpinan terjadi ketika Soeharto mengambil alih pemerintahan, sementara Soekarno masih menjabat sebagai presiden.

Baca Juga: Punya Pengalaman yang Unik dan Menarik, Ternyata 3 Presiden RI Sama-sama Kepergok Lakukan Hal Ini Pada Ajudanny

Latar belakang dualisme kepemimpinan nasional

Di awal 1966, kondisi politik bergejolak. Soekarno diprotes keras karena G30S dan perekonomian yang memburuk.

Puncaknya, pada 11 Maret 1966. Demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran terjadi di depan Istana Negara.

Demonstrasi ini didukung tentara. Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto pun meminta agar Soekarno memberikan surat perintah untuk mengatasi konflik apabila diberi kepercayaan.

Baca Juga: Jadi Bangunan Heritage, Inilah Fakta Gedung Utama Kejaksaan Agung yang Terbakar, Dibangun Era Soekarno Dinikmati Saat Soeharto Berkuasa

Maka, pada 11 Maret 1996 sore di Istana Bogor, Soekarno menandatangani surat perintah untuk mengatasi keadaan.

Surat itu dikenal sebagai Supersemar. Isinya, Soekarno memerintahkan Soeharto untuk:

1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.

Baca Juga: Naskah Ditulis Soekarno, Tapi Tan Malaka Menolak Bacakan Teks Proklamasi Gegara Alasan Kontroversial Ini

2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan Lain dengan sebaik-baiknya.

3. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.

Soeharto memimpin pemerintahan

Supersemar bertujan mengatasi situasi saat itu. Pada praktiknya, Setelah mengantongi Supersemar, Soeharto mengambil sejumlah keputusan lewat SK Presiden No 1/3/1966 tertanggal 12 Maret 1966 atas nama Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/PBR.

Baca Juga: Diminta Tes DNA untuk Buktikan Ceritanya, Tukang Ketik di Kantor Notaris Ini Tak Merasa Punya Beban Jadi Anak Biologis Soekarno: Kalau Hasilnya Benar Ya Alhamdulillah...

Keputusan tersebut yakni:

1. Pembubaran PKI beserta ormasnya dan menyatakannya sebagai partai terlarang

2. Penangkapan 15 menteri yang terlibat atau pun mendukung G30S

3. Pemurnian MPRS dan lembaga negara lainnya dari unsur PKI dan menempatkan peranan lembaga itu sesuai UUD 1945.

Baca Juga: Aksi Ganyang Malaysia yang Digagasnya Makin Bikin Amerika Ketar-ketir, Ternyata Langkah Revolusi Soekarno Digagalkan Jenderal Kesayangannya Sendiri

Soekarno yang diasingkan tak bisa berbuat banyak. Sementara Soeharto mendapat kekuasaan yang semakin besar.

Dikutip dari Hari-hari Yang Panjang: Transisi Orde Lama Ke Orde Baru, Sebuah Memoar (2008), dualisme kepemimpinan memunculkan polarisasi.

Ada yang setuju dengan Soeharto untuk membubarkan. Namun ada juga yang masih setia kepada Soekarno.

Baca Juga: Jadi Lembaga Paling Tertutup Hingga Simpan Sejuta Rahasia Negara , BIN Kembali Layani Langsung Presiden, Balik Lagi Ke Masa Orde Baru?

Soekarno terdesak

Memasuki pertengahan 1966, masalah dualisme kepemimpinan nasional makin terasa.

Soekarno tidak lagi bisa mencabut Supersemar ketika MPRS memutuskannya sebagai TAP MPRS Nomor IX/1966 pada 21 Juni 1966.

Saat itu, MPRS mencabut Soekarno sebagai presiden seumur hidup sekaligus memberi kewenangan Soeharto sebagai pengemban Supersemar untuk membentuk kabinet pada 5 Juli 1966.

Pada 22 Juni 1966, Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawaban di Sidang MPRS.

Soekarno dianggap mengecewakan. Dalam pidato itu, Soekarno bersikeras tidak mau membubarkan PKI.

Baca Juga: Tiongkok Makin Bernafsu Kuasai Laut China Selatan, Kelompok Bajak Laut Malah Makin Beringas Tanpa Ada Perlawanan, Ternyata Begini Penjelasannya

Pidato yang dikenal sebagai Nawaksara ini ditolak oleh MPRS. Kemudian pada 10 Januari 1967, Soekarno mengirim surat kepada Ketua MPRS Jenderal AH Nasution.

Surat yang bernama "Pelengkap Nawaksara" itu berisi kurang lebih sama dengan Nawaksara.

Soekarno kembali menyampaikan beberapa alasan terjadinya peristiwa G30S atau yang disebutnya dengan Gestok (Gerakan 1 Oktober).

Sebulan kemudian, pada 7 Februari 1967, Soekarno kembali mengirim surat, kali ini untuk Soeharto.

Dalam surat itu, Soekarno menyatakan akan menyerahkan pemerintahan kepada Soeharto.

Baca Juga: Dulu Leha-leha Jadi Negara Terkaya, Kini Nauru Harus Ngemis-ngemis Bantuan Australia Tiap Bulan

Penyerahan kekuasaan itu terjadi pada 22 Februari 1967. Soekarno menyampaikan kepada menteri-menteri di Istana Merdeka.

Malam harinya, Menteri Penerangan BM Diah membacakan pengumuman Soekarno.

Tak lama kemudian, MPRS mencabut kekuasaan Presiden Soekarno dan menetapkan Soeharto sebagai pejabat presiden.

Ketetapan itu tertuang dalam TAP MPRS Nomor XXXIII/1967.

Baca Juga: Jadi Buruan Utama Pasukan Elit Pimpinan Prabowo Subianto, Presiden Fretilin Ini Justru Mati di Tangan Prajurit Asli Timor Timur: Hasilnya Dilaporkan ke Pak Harto

Pergantian kekuasaan antara Soekarno dan Soeharto menjadi peristiwa bersejarah yang selalu dikenang.

Pada saat Soekarno akhirnya berakhir pemerintahan dan lengser, ada peristiwa tak terlupakan.

Melansir TribunJatim dan dari buku berjudul "Selangkah Lebih Dekat dengan Soekarno" tulisan Adji Nugroho yang diterbitkan tahun 2017, beredar kabar kalau Soekarno dipaksa Soeharto untuk meninggalkan Istana negara.

Saat meninggalkan Istana Negara, Soekarno meninggalkan sejumlah barang berharga.

Di antaranya berbagai kemeja favorit, hingga arloji Rolex, dan berbagai barang berharga lainnya.

Baca Juga: Anak Semata Wayangnya Mulai Bisa Terima Keadaan, Tapi Penyanyi Cantik Ini Malah Kembali Sampaikan Berita Duka: Aku Tahu Kamu Sudah Berjuang...

Meski demikian, ada satu barang berharga yang justru dibawa oleh Soekarno.

"Ketika meninggalkan Istana Kepresidenan, Bung Karno hanya membawa benda yang merupakan salah satu simbol dari 1001 kisah pengorbanannya untuk menyelamatkan bangsa Indonesia," tulis Ajdi Nugroho.

Benda yang dibawa, dan digenggam erat oleh Soekarno itu adalah bendera pusaka, Sang Saka Merah Putih.

"Bendera itu hanya dibungkus dengan kertas koran," tandas Adji Nugroho.

Di buku lain, Soekarno memang dikisahkan membawa bendera pusaka merah putih dan menyembunyikannya saat Soeharto berkuasa.

Baca Juga: Kini MUI Tetapkan Hukumnya Haram, Ternyata Segini Gaji yang Diterima Abu Janda Sebagai Buzzer Jokowi, Pakai Uang Rakyat?

Dilansir dari buku 'Berkibarlah Benderaku-Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka' karya Bondan Winarno, Soekarno menyembunyikan bendera merah putih saat lengser sebagai Presiden RI pada Maret 1967 dan digantikan oleh Soeharto.

Wajar saja petugas istana negara saat itu gempar karena tak menemukan Bendera Pusaka tersebut.

Padahal rencananya Bendera merah putih itu akan dikibarkan pada upacara peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1967.

Baca Juga: Pantas Bikin Hati Sepupu Sandiaga Uno Adem, Sosok Ayahanda Syekh Ali Jaber Terungkap Hingga Banjir Pujian dari Netizen

Dok. Harian Kompas
Dok. Harian Kompas

Ibu Negara Pertama Republik Indonesia, Penjahit Bendera Sang Saka Merah Putih, Begini Kisahnya Mendukung Ir Soekarno Sebelum Proklamasi Kemerdekaan

Istana negara kemudian membentuk delegasi untuk menemui Soekarno di Istana Bogor.

"Kenyataan bahwa Bendera Pusaka itu dijahit oleh Ibu Fatmawati dan merupakan milik pribadi Bung Karno, membuat kepemilikan benda bersejarah ini sempat menjadi masalah kecil," tulis Bondan Winarno.

Soekarno awalnya ragu dan menolak memberi tahu keberadaan Bendera merah putih itu.

Namun, Soekarno kemudian menyadari bahwa Bendera Pusaka merah putih yang dijahit oleh Fatmawati itu bukanlah milik pribadi melainkan sudah menjadi milik bangsa Indonesia.

Baca Juga: Pulang dari Tanah Suci Langsung Jual Semua Hartanya, Penampakan Ratu Film Panas Ini Berubah Drastis Usai Ditinggal Suami Keempatnya

Soekarno lantas meminta delegasi untuk kembali menemuinya pada 16 Agustus 1967.

Namun saat kembali menemui Soekarno pada 16 Agustus 1967, delegasi itu justru diajak Soekarno kembali ke Jakarta dan mendatangi Monumen Nasional (Monas).

"Ternyata Bung Karno menyimpan Bendera Pustaka di sebuah ruangan bawah tanah di kaki Monumen Nasional," tulis Bondan.

Setelah Bendera Pusaka diserahkan ke Istana, Presiden Soeharto tak langsung percaya bendera tersebut merupakan Bendera Pusaka.

Baca Juga: Terungkap, Ternyata Jack Ma Lakukan Ini Saat Hilang Selama 3 Bulan, Jadi Tahanan Rumah?

Soeharto lantas memanggil mantan ajudan Presiden Soekarno Husain Mutahar untuk mengecek keaslian bendera tersebut.

Husain Mutahar adalah ajudan Presiden Soekarno yang mengamankan Bendera Pusaka saat Bung Karno dan Bung Hatta ditawan Belanda pada Agresi Militer Belanda ke dua.

Saat itu, Mutahar diperintah oleh Soekarno menjaga Bendera Pusaka.

Baca Juga: Punya Ide Jadikan Jokowi Sebagai Cawapresnya, Ini Sepak Terjang Dubes RI untuk Filipina Sinyo Harry Sarundajang yang Meninggal Dunia di Jakarta

Agar tak disita Belanda, Mutahar sampai membuka jahitan bendara tersebut dan memisahkan warna merah dan putihnya.

Setelah Agresi Militer II Belanda selesai, Bendera Pusaka dijahit kembali dan diserahkan kepada Soekarno

Karena tahu betul Bendera Pusaka, Mutahar mengatakan bahwa bendera yang disimpan Soekarno di Monas adalah Bendera Pusaka.

Tanda-tanda berakhirnya kekuasaan Soekarno terlihat saat Soeharto memberikan tiga opsi kepada salah satu istri Bung Karno, Ratna Sari Dewi.

Baca Juga: Utang Pemerintah Jokowi Tembus Rp 6.000 Triliun, Ayahanda Gubernur DIY Tulis Ramalan Indonesia Jadi Negara Maju Jika 5 Pusaka Ini Bisa Terkumpul

Hal ini berawal saat Soekarno selaku presiden RI memerintahkan Mayjen Soeharto mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan setelah peristiwa G30S/PKI

Dilansir dari buku 'Jenderal Yoga : Loyalis di Balik Layar', Soeharto kemudian memerintahkan Brigjen TNI Yoga Sugomo dan Martono untuk merancang sebuah pertemuan rahasia dengan Ratna Sari Dewi.

Baca Juga: Bikin Syok, Kerap Tampil Lincah di Depan Kamera, Ternyata Kak Seto Idap Penyakit Mematikan Ini Hingga Mohon Doa dari Netizen

Tujuan pertemuan itu untuk mengorek informasi, kebijakan, serta kegiatan Soekarno sebelum detik-detik G30S/PKI terjadi.

Soeharto menganggap semua orang yang dekat dengan Bung Karno harus diinterogasi perihal tragedi tersebut.

Soeharto dan Ratna Sari Dewi direncanakan bertemu pada 20 Maret 1966 di lapangan golf Rawamangun, Jakarta Timur.

"Tidak mudah mengatur pertemuan itu karena Dewi adalah istri presiden. Oleh karena itu, diusulkan agar pertemuan dilakukan secara tidak resmi. Rencananya, Soeharto akan bertemu dengan Dewi di lapangan golf," kata Yoga dalam buku biografinya yang berjudul 'Jenderal Yoga : Loyalis di Balik Layar'.

Baca Juga: China Main Tunjuk Hidung Negara Ini Jadi Sumber Covid-19, Hasil Penyelidikan WHO di Wuhan Picu Amarah, Ada Apa?

(*)

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma

Baca Lainnya