Penyerbuan terus berlanjut. Anggota jemaah pengajian yang kebanyakan perempuan dan anak-anak yang tertangkap digiring menuju ke Kodim 0411 Metro yang berjarak 2 kilometer, dengan berjalan kaki.
Setelah berpuluh tahun, dan melalui proses penyidikan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan Kejaksaan Agung perlu memeriksa Hendro, karena dia diduga terlibat dalam kasus “pembantaian” Talangsari tersebut.
Hendro sendiri tak pernah banyak bicara tentang kasusnya. Berdasar penelusuran, Hendro baru angkat bicara pada Desember 2014 lalu. Ia mengatakan bahwa dirinya difitnah dalam kasus Talangsari.
“Saya difitnah kasus Talangsari. Itu pertempuran, anak buah saya juga banyak yang mati. Asal bentrokan, dibilang pelanggaran HAM,” kesal Hendropriyono pada sebuah media online.
Soal bentrokan, Hendro membantah itu termasuk pelanggaran HAM. “Kalau orang berontak, nyerang, masa itu pelanggaran HAM? Jangan asal nuduh,” tegasnya.
Ia menegaskan, kasus Talangsari bukan pelanggaran HAM. “Talangsari disebut pelanggaran HAM. Saya akan tentang, di mananya?” katanya.
Ia justru balik menuding pihak-pihak tertentu memanfaatkan isu tersebut. “Saya tahu ada yang bayarin untuk nyerang saya (sebagai pelaku). Saya tahu, tapi saya nggak mau jahil. Kalau terpaksa, saya bisa bongkar semua,” ujarnya.
Mantan Kepala BIN ini selanjutnya mengatakan, namanya tak pernah disebut dalam penyidikan. “Kita ada aturan hukum. Sejak awal penyelidikan dan penyidikan, tidak satu pun nama saya disebut,” kata Hendro.
Bahkan dia juga mengaku tak pernah menghadiri panggilan dari Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Talangsari. Sebab, menurut Hendro, TPF secara hukum tidak memiliki hak sedikit pun untuk melakukan pemanggilan.
“Kalau diperiksa polisi, saya mau. TPF mau saya datang, ya datang ke rumah saya saja. Tapi dia (TPF) malah manggil. Saya nggak mau, mana aturannya kamu manggil orang? Dalam undang-undang apapun tidak ada kewengan dia untuk memanggil. Itu kan ada aturannya. Kalau yang panggil pengadilan, polisi, saya datang,” pungkasnya.