Follow Us

Sempat Bikin Heran WHO Lantaran Tak Pernah Terapkan Protokol Kesehatan, Negara Ini Akhirnya Mencatat Kasus Covid-19 Tertinggi dalam 2 Bulan Terakhir, Ternyata Begini Penyebabnya

Bayu Dwi Mardana Kusuma - Jumat, 03 Juli 2020 | 10:05
Jepang iri dengan Indonesia.

Jepang iri dengan Indonesia.

Fotokita.net - Keadaan darurat akibat pandemi Covid-19 di Jepang hampir berakhir dengan kemunculan kasus baru berkurang tajam menjadi belasan orang.

Jepang mampu mencapai level tersebut, meskipun sebagian besar kebijakan di sana mengabaikan pedoman standar pemutusan rantai penyebaran virus corona.

Lihat saja, tidak ada batasan yang diterapkan pada pergerakan penduduk, dan bisnis dari restoran hingga penata rambut tetap buka.

Baca Juga: Jadi Sarang Virus Corona Terbesar di Dunia, Militer Brasil Mati-matian Tembus Belantara Demi Berikan Bantuan, Tapi Barang Terbawa Malah Zat Berbahaya

Tidak ada aplikasi berteknologi tinggi yang melacak pergerakan orang, ditambah tak ada pusat pengendalian penyakit.

Dan, bahkan ketika negara-negara berlomba melakukan pengujian, Jepang hanya menguji 0,2 persen dari populasinya -salah satu tingkat terendah di antara negara-negara maju.

Baca Juga: Anak Jokowi Dapat Tantangan Tukar Nasib dengan Netizen Pengangguran, Jawaban Menohok Kaesang Langsung Bikin Si Penantang Terdiam Seribu Bahasa: Saya Tunggu!

Namun toh, Jepang mampu meratakan kurva penyebaran virus dengan 17.000 kasus dan 826 kematian di negara dengan penduduk 126 juta.

Capaian tersebut merupakan angka terbaik di antara kelompok tujuh negara maju. Di Tokyo, kota yang padat penduduk di Jepang, banyak kasus infeksi turun menjadi satu digit pada beberapa hari belakangan.

Lalu, ketika kemungkinan gelombang infeksi kedua yang lebih parah selalu ada, Jepang sudah mencabut keadaan darurat, dan bakal mulai menjalani kehidupan normal hari ini, Senin (25/5/2020).

Lalu, bagaimana mungkin Jepang bisa mengendalikan penyebaran virus ini tanpa berkiblat pada pedoman yang digunakan oleh negara-negara lainnya.

Hanya satu hal yang disepakati: bahwa tidak ada solusi instan, dan faktor lain yang membuat pembedaan dalam kasus ini.

Baca Juga: Di Tengah Rapat Bersama Walikota Surabaya, Tiba-tiba Kapolda Jawa Timur Usir Anak Buahnya dari Dalam Ruangan: Begini Kabar Terakhir Anggota Polisi Itu

Jepang iri dengan Indonesia.
inc.com

Jepang iri dengan Indonesia.

"Hanya dengan melihat angka kematian, kita dapat mengatakan Jepang berhasil," kata Mikihito Tanaka, Profesor di Universitas Waseda, yang berspesialisasi dalam komunikasi sains.

"Tetapi bahkan para ahli pun tidak tahu alasannya," sambunug dia.

Sebuah daftar mengumpulkan 43 kemungkinan alasan yang dikutip dalam laporan media, mulai dari budaya mengenakan masker, tingkat obesitas di Jepang yang terkenal rendah, hingga keputusan awal untuk menutup sekolah.

Baca Juga: Ternyata Bukan di Wuhan, Sarang Virus Corona Terbesar di Dunia Justru Ada di Daerah Ini: Ahli Minta Kita Tak Pandang Remeh

Lalu, yang lebih fantastis termasuk klaim penutur bahasa Jepang yang dikenal memancarkan lebih sedikit tetesan yang sarat virus ketika berbicara, dibandingkan dengan bahasa lain.

Para ahli yang dikutip Bloomberg News juga membeberkan segudang faktor yang berkontribusi pada hasil tersebut.

Namun, di dalamnya tidak terpetakan paket kebijakan tunggal di Jepang yang dapat direplikasi di negara lain.

Di sisi lain, respons awal warga terhadap peningkatan infeksi menjadi sangat penting.

Ketika pemerintah pusat dikritik karena langkah-langkah kebijakannya yang dinilai lambat, para ahli memuji peran pelacak kontak di Jepang.

Fitur itu sudah berjalan setelah infeksi pertama ditemukan pada Januari. Respons cepat semacam ini memang menjadi satu keunggulan inbuilt Jepang yakni lewat keberadaan pusat kesehatan publiknya.

Pusat kesehatan publik memiliki puluhan ribu tenaga paramedis yang sudah terlatih dalam menyusuri jejak infeksi di tahun 2018.

Baca Juga: Stop Lakukan Kebiasaan Ini Kalau Masih Sayang Nyawa Keluarga, Ternyata Pelihara Ayam di Rumah Bisa Sebarkan Virus Mematikan Seperti Corona: Begini Penjelasan Ahli

Jepang iri dengan Indonesia.
nypost

Jepang iri dengan Indonesia.

Pada masa-masa normal, para perawat tersebut terbiasa melacak infeksi yang lebih umum seperti influenza dan TBC.

"Ini sangat analog - ini bukan sistem berbasis aplikasi seperti Singapura, tapi bagaimana pun, itu sangat berguna," kata Kazuto Suzuki, Profesor Kebijakan Publik di Universitas Hokkaido.

Dia menulis ulasan khusus tentang respons Jepang dalam pandemi Covid-19. Ketika negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris baru mulai merekrut dan melatih pelacak kontak, Jepang telah melacak pergerakan penyakit ini sejak segelintir kasus pertama ditemukan.

Baca Juga: Bak Petir di Siang Bolong, Angka Kematian Akibat Corona di Indonesia 3 Kali Lipat dari Data Resmi, Pakar Malah Bilang Penyakit Ini Bukan Wewenang Jokowi: Siapa yang Mau Disalahin?

Para ahli di Jepang menitikberatkan pada penanggulangan kelompok, atau kelompok infeksi dari satu lokasi seperti klub atau rumah sakit, sebelum kasus kian menyebar.

"Banyak orang mengatakan, kami tidak memiliki Pusat Pengendalian Penyakit di Jepang," kata Yoko Tsukamoto, Profesor Pengendalian Infeksi di Universitas Ilmu Kesehatan Hokkaido.

"Padahal pusat kesehatan masyarakat adalah sejenis Pusat Pengendalian Penyakit lokal," kata dia.

Pada hari Kamis (2/7) kemarin, Tokyo mencatat adanya 107 kasus infeksi corona baru. Angka tersebut merupakan yang terbesar dalam dua bulan terakhir.

Meskipun demikian, pemerintah pusat Jepang mengatakan kalau status darurat belum perlu diaktifkan kembali.

"Kami akan terus mengamati situasi di setiap daerah dengan serius, serta tetap berusaha mencegah penyebaran virus dan mendukung stabilitas ekonomi," tutur Yoshihide Suga, Ketua Sekretaris Kabinet Jepang.

Baca Juga: Wilayah Tinggalnya Dikelilingi Pepohonan Lebat dan Gunung, Ternyata Warga Daerah Ini Beli Mi Instan dengan Emas: 'Bertahun-tahun Pemerintah Tak Pernah Membangun'

Pada tanggal 25 Mei lalu pemerintah Jepang sudah mengangkat status darurat setelah data statistik menunjukkan penambahan korban kurang dari 20 orang dalam sehari.

Gubernur Tokyo, Yuriko Koike mengatakan, sekitar 70% kasus yang tercatat pada hari Kamis terjadi pada warga berusia 20-30 tahun. Rentang usia muda yang mulai banyak beraktivitas di luar ruangan.

"Hal ini benar-benar bukan sesuatu yang menyenangkan. Saya berharap semua warga Tokyo bisa bekerja sama untuk mencegah hal itu (penambahan korban)," ungkap Koike seperti dikutip dari Reuters.

Para pejabat setempat juga meyakinkan kalau sistem medis yang ada saat ini sudah semakin siap dan berkualitas. Angka yang bertambah jadi bukti keberhasilan mereka dalam melakukan pengujian secara lebih luas.

Kasus tambahan di Tokyo ini membuat Jepang sudah mencatat hingga 19.000 kasus dan 976 kematian. Meskipun terlihat banyak, tapi nyatanya jumlah ini masih relatif kecil jika dibandingkan dengan sejumlah negara lain.

Data terbaru menunjukkan saat ini sudah ada lebih dari 10,7 juta orang yang terinfeksi virus corona di seluruh dunia. Lebih dari 515.000 di antaranya bahkan berakhir dengan kematian.

Baca Juga: Lagi-lagi Kalahkan Malaysia dengan Telak, Anak Buah Jokowi Kaget Saat Bank Dunia Naikkan Status Indonesia Jadi Negara Menengah ke Atas di Tengah Wabah Corona, Begini Faktanya

Sebelum ini pemerintah Tokyo juga sudah menerbitkan pedoman pemantauan baru yang akan lebih fokus pada optimalisasi fasilitas kesehatan.

Setelah panduan ini diterapkan nanti, pemerintah Tokyo akan menjamin kapasitas rumah sakit mampu menampung lebih banyak pasien untuk dirawat.

Sambil memastikan semua fasilitas bisa tersedia dengan baik, pemerintah setempat juga tetap berupaya melakukan langkah-langkah penyebaran penyakit sambil terus menjaga aktivitas sosial dan ekonomi bisa terus bergerak dengan normal.

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma

Latest