"Ibu guru kami takut meja patah, kata seorang murid. Tidak lagi peduli pada meja dan bangku. Kami semua duduk melantai sambil belajar menulis abjad," tutur Diana.
Diana mengapresiasi, solusi Bupati Mappi mendatangkan GPDT untuk membasmi pelan-pelan virus buta huruf di Mappi.
Namun, apakah dua tahun mengajar di pedalaman membasmi buta huruf cukup? Tentu tidak.
Diana menaruh harapan, kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim membuat program skala nasional untuk mencerdaskan anak-anak di pedalaman.

Program ini adalah bukti kecintaan anak muda Indonesia terhadap Papua.
"Indonesia bukan hanya Jawa, kami pun Indonesia. Indonesia bukan hanya kota-kota besar yang sudah canggih dengan aplikasi-aplikasi pendidikan yang mudah didapat lewat Android. Kami di pedalaman yang masih belajar mengenal abjad juga Indonesia," kata Diana.
"Pak Surya Paloh pernah berkata dalam sebuah acara bertemakan Pertaruhan Sang Ideologi. Saya mau lihat Indonesia yang seutuhnya. Saya mau lihat seiring dengan matahari yang terbit dari ufuk timur, suatu ketika dalam waktu yang tidak lama ada anak-anak Indonesia yang rambutnya keriting, kulitnya hitam, jadi presiden di republik ini," tutur Diana.
Diana setuju dengan pernyataan Surya Paloh, namun untuk saat ini Diana hanya ingin melihat buta huruf mati terkapar saat suara lantang anak-anak pedalaman Indonesia membaca buku.
"Seiring dengan matahari yang terbit dari ufuk timur, saya ingin melihat anak-anak sekolah di pedalaman Mappi bisa menulis cerita mereka dari pena dan kertasnya tanpa merasa sulit menyusun kata pada kumpulan aksara yang terbentang dari A-Z," tutup Diana, dalam surat terbukanya.

Peserta GPDT mengikuti pelatihan pra penempatan di Merauke, Papua.