"Kenapa itu bisa menggugah, kisah (Layangan Putus) mungkin dekat dengan apa yang pernah mereka alami atau yang dialami sama orang terdekat (pembaca)," imbuh dia.
"Jadi, ketika ada situasi yang mirip, otak kita akan bekerja (dan) mengingatkan pada perasaan yang mirip juga yang pernah kita alami," imbuh Pingkan.
Perempuan yang juga menjadi dosen di Universitas Bina Nusantara (Binus) ini mengatakan, ketika seseorang membaca sebuah kisah kemudian muncul perasaan sedih atau marah, dia juga sebenarnya mengingat pengalaman yang membuatnya marah atau kesal.
Baik itu pengalaman yang dialami diri sendiri, ataupun orang terdekat. Emosi inilah yang kemudian membuat seseorang dapat bersimpati dan menempatkan diri menjadi tokoh istri dalam cerita Layangan Putus itu.
Menurut Pingkan, hal seperti ini sebenarnya wajar. Akan tetapi, ada beberapa orang yang kemarahannya atau kekesalannya melebihi batas normal.
Ibarat kekesalan dalam skala 0-10, bila seseorang mengungkapkan kekecewaan atau kemarahan pada level 5, itu masih wajar.
Namun bila sudah lebih dari itu, misalnya sampai di level 8, kemungkinan besar ada masalah pada diri orang tersebut, ada faktor-faktor kepribadian yang memengaruhi hal ini.