Seperti dikutip dari tulisan karya Martin Sitompul yang ditayangkan melalui situs web Historia (tulisan asli ada di tautan ini), Prabowo ditengarai memiliki agenda terselubung dalam operasi pembebasan sandera dari kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Brigadir Jenderal Prabowo Subianto adalah sosok penting di balik susksesnya operasi pembebasan sandera di Mapenduma, Papua. Pada 9 Mei 1996, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang dipimpin Prabowo menggelar operasi menyelamatkan sebelas sandera Tim Ekspedisi Lorentz ’95. Selama 130 hari sejak 8 Januari 1996, kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) menyandera mereka. OPM cari perkara karena ingin menuntut kemerdekaan dari Indonesia.
Kopassus turun tangan memburu OPM ke Mapenduma. Operasi berlangsung selama lima hari. Dalam kontak senjata, delapan orang anggota OPM ditembak mati sedangkan dua orang ditangkap hidup-hidup.
Sementara di pihak sandera, sembilan orang berhasil diselamatkan namun dua sandera terbunuh. Dalam keterangannya kepada pers, Prabowo mengatakan tiada korban dari prajuritnya.
“Prajurit yang korban tidak ada. Dalam tahap ini tidak ada. (Luka-luka tidak ada),” sebut Prabowo.
Pasca suksesnya operasi, reputasi Kopassus semakin diperhitungkan. Nama Prabowo pun dielu-elukan. Pujian bahkan datang dari Sekjen PBB Boutros Boutros Ghali maupun negara-negara asing.
Namun ada yang belum terang di balik operasi itu. Letnan Jenderal Kepala Staf Umum ABRI saat itu, Soeyono setidaknya menangkap keganjilan.
Hal ini berkaitan dengan sikap mbalelo Komandan Jenderal (Danjen) Koppassus, yang tak lain Prabowo Subianto jelang operasi pembebasan.
Soeyono dalam biografinya menuturkan, dalam suatu rapat pembahasan rencana operasi, Prabowo hanya mengirim wakilnya, Kolonel Idris Gasing. Soeyono meminta Kolonel Idris untuk memberikan gambaran konsep pengerahan pasukan apabila nanti diperlukan.