"Bos sama temanku udah (cukup menjadi korban), jangan sampai itu terjadi sama keluargaku," ujarnya.
"Mungkin bukan saat ini kita lihat (dampaknya). Mungkin bukan saat ini kita hirup langsung kita mati, tapi nanti 15 tahun, 20 tahun (lagi)."
Sumarni Laman menceritakan kisah masa kecilnya yang kerap terjaga memantau jilatan api di sekitar rumahnya di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Sola Gratia Sihaloho (22) juga tak habis pikir dengan kebakaran hutan dan lahan yang terus menerus terjadi.
"Rumah saya itu dulu di sampingnya kayak hutan. Dan itu dari saya kecil, dari SD, sering kebakar, hampir kena rumah," tuturnya.
"Kami harus jaga siang-malam untuk menjaga apinya biar tidak kena ke rumah."
Sumarni kecil sudah ikut andil dalam upaya mempertahankan tempat tinggal mereka dulu. Ember demi ember diisi air dan disusun di sekitar rumah, "biar ketika apinya dekat itu langsung siram".
Kegiatan itu bisa dilakukan selama satu minggu penuh, setiap hari.

Kabut asap pekat menyelimuti Jembatan Kahayan, Kota Palangkaraya (19/09)
Oleh karenanya, Sumarni sudah 'akrab' dengan kabut asap. Dalam ingatannya, sejak tahun 2002, dampak asap kebakaran hutan dan lahan - dalam siklus 4-5 tahunan yang dipengaruhi iklim El Nino - terus menerus ia rasakan.