Hiduplah seperti telaga yang tenang, berjuanglah seperti jarum dijatuhkan ke sumur yang tak menimbulkan percik, berjagalah seperti udara menjaga pelita menyala dalam ruang gulita.
Dusun Jepang berada di ujung barat daya Bojonegoro. Di bagian barat dusun adalah Bengawan Solo yang di seberangnya merupakan wilayah Blora (Jawa Tengah).

Kehidupan bersahaja Sedulur Sikep (Wong Samin) di Dusun Jepang, Margomulyo, Bojonegoro, Jawa Timur.
Dusun ini terletak 5 kilometer dari Jalan Raya Ngawi-Cepu-Bojonegoro. Meski berada dalam wilayah Bojonegoro, posisi Jepang lebih dekat ke Ngawi. Untuk itu, wajar jika warga Margomulyo, termasuk Jepang, banyak mencari kebutuhan hidup ke Ngawi daripada ke Bojonegoro.
Jarak dari Dusun Jepang ke Kantor Bupati Ngawi cuma 16 km. Ke Kantor Bupati Bojonegoro malah 68 km.
Dari Kantor Gubernur Jawa Timur di Surabaya, Dusun Jepang berjarak 198 km atau bisa dijangkau lebih kurang dalam 2,5 jam perjalanan melalui Jalan Tol Surabaya-Solo keluar Ngawi, lalu menuju Tugu Simpang Karangsari untuk ke Jalan Raya Ngawi-Cepu-Bojonegoro.
Waktu tempuh yang tidak terlalu lama itu bisa terwujud jika tidak kena macet, tiada masalah di jalan tol, dan kecepatan mobil standar maksimal 80 kilometer.
Sebagian warga Dusun Jepang menyebut diri Sedulur Sikep. Kita menyebutnya Wong Samin. Mereka termasuk dalam komunitas para penerus Saminisme, ajaran Surosentiko Samin (Samin Anom) atau Raden Kohar, petani pejuang anti-penjajahan dengan cara anti-kekerasan terhadap Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Sejarah mencatat, Raden Kohar lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 1859 dan wafat dalam pembuangan serta kerja paksa di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada 1914.
Sedulur Sikep yang disebut juga penganut Agama Adam hidup berkomunitas di Blora, Rembang, Grobogan, Pati, dan Kudus yang merupakan kawasan Jateng bagian timur.
Di Jatim bagian barat, Wong Samin dapat dijumpai di Bojonegoro, Tuban, Gresik, Ngawi, Madiun, bahkan Blitar.