Menurutnya, semua itu berawal dari hukum agama yang hanya melegalkan hubungan seksual marital, dan hubungan seksual tanpa pernikahan dianggap kejahatan. Negara kemudian mengadopsi nilai-nilai itu dan memasukkannya ke dalam hukum nasional.

Jasa Nikah Siri di Surabaya Jadi Jalan Pintas, Terkuak Ini Dia Syarat Perempuan yang Masuk Dalam 2 Kategori Ini
Dijelaskan Azis, konsep milk al yamin didasarkan pada hubungan perbudakan di masa lalu. Ketika itu, seorang pemilik budak dapat berhubungan seks dengan istrinya, dan juga sah melakukan itu dengan budak perempuannya.
Karena saat ini perbudakan telah dihapus, pembolehan berhubungan seks tanpa menikah dengan budak itu, diadopsi dengan bentuk baru, yaitu hubungan seks tanpa paksaan, dengan syarat tidak melanggar empat ketentuan tadi.
Konsep ini, kata Azis, dapat direkomendasikan untuk pembaruan hukum Islam, baik di Indonesia maupun negara lain.
“Nanti tidak ada lagi kasus perajaman seperti di Aceh tahun 1999, perajaman di Ambon 2001. Tidak terjadi penggeberekan di hotel hanya karena tidak punya surat akta nikah karena bukan pasangan resmi. Tidak ada semua itu, karena tindakan seperti itu melanggar hak asasi manusia,” tambah Azis.

Ilustrasi pernikahan
Agama lain, diakui Azis memiliki aturan yang sama dengan Islam dalam hal ini. Karena itu menurutnya, perlu kajian serupa untuk mengubah hukum agama-agama lain itu, dalam hubungan seksual non marital ini.
“Subtansinya bahwa hubungan seksual non-marital bukan kriminal, bukan kejahatan. Ini bukan persoalan akan mendorong orang melakukan seks bebas atau tidak, tetapi mengembalikan hubungan seksual ini sebagai hak asasi,” ujar Azis.
Akademisi di UIN Sunan Kalijaga memandang penafsiran yang dipaparkan Abdul Azis, problematik. Begitu juga dengan konsep itu sendiri yang diambil dari pemikiran Muhammad Syahrur. Sebuah sesi penjelasan khusus dibuat oleh UIN Sunan Kalijaga, untuk menjernihkan masalah ini. Sahiron, misalnya, yang menjadi promotor dalam disertasi ini menilai, subyektifitas penafsir berlebihan.