Penampilan mayat dengan warna merah karena dilumuri tanah merah, tubuh yang kaku, serta mayat-mayat dengan pose yang diatur.
Meski demikian, tubuh yang dihisap dihormati sebagai leluhur, keyakinan mereka didasarkan pada ada perlindungan dari aroma mayat yang dihisap tersebut.
Baca Juga: Lihat Foto Persiapan Suku Terasing di Gorontalo yang Akan Ikut Pemilu untuk Pertama Kalinya
Menurut laporan BBC total ada 14 mayat yang tersusun di perancah bambu dalam posisi seperti meringkuk, atau duduk.
Empat mayat telah hancur, menjadi tumpukan tulang dan tengkorak, sedangkan beberapa diantaranya masih dalam posisi duduk.
Namun, ada cerita berbeda yang ditawarkan oleh penduduk sekitar, Loland seorang pendeta mengatakan pengawetan mayat ini dilakukan pada sebelum Perang Dunia I.
Anga menyerang kelompok misionaris yang tiba di kampung itu, kemudian ada seseorang yang ditembak mati oleh misionaris karena membela diri.
Baca Juga: Foto-foto Kehidupan Primitif Suku di Hutan Amazon Bikin Kita Melongo
Peristiwa itu memicu serangkaian pembunuhan dan balas dendam, hingga akhirnya misionaris menghadiahkan garam untuk membalsem mayat.
Namun praktik ini berlangsung selama satu generasi,dan selanjutnya misionaris berhasil mengubah orang Anga menjadi Kristen. Mereka menyebut, praktik Aseki terakhir pada tahun 1949. (Afif Khoirul M/Intisari Online)