Bukan Hanya Hotman Paris, Sosok Ini Juga Ungkap Kebaikan Omnibus Law, Tapi Kenapa Buruh Masih Gelar Demo Tolak UU Cipta Kerja?

Selasa, 20 Oktober 2020 | 09:33
ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA Via Kompas.com

Seorang buruh membawa poster protes dalam aksi unjuk rasa di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (25/8/2020). Dalam aksinya itu ribuan buruh menolak omnibus law draf pemerintah dan menuntut agar PHK massal dampak COVID-19 dihentikan.

Fotokita.net - Bukan hanya Hotman Paris, sosok ini juga ungkap kebaikan Omnibus Law, tapi kenapa buruh masih gelar demo tolak UU Cipta Kerja?

Hari ini (20/10/2020), sejumlah elemen buruh kembali mengikuti aksi tolak omnibus law UU Cipta Kerja.

Aksi diselenggarakan bertepatan dengan satu tahun jabatan Jokowi-Ma'ruf Amin.

Berdasarkan keterangan tertulis Polres Metro Jakarta Pusat, Senin (19/10/2020) malam, terdapat sejumlah elemen buruh yang mengikuti aksi tersebut, salah satunya Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK).

Rencananya, aksi digelar di Taman Pandang yang berlokasi di depan Istana Negara.

Baca Juga: Ucapan Hotman Paris Soal Omnibus Law Bukan Bualan, Sosok Ini Sebut Karyawan Kontrak Malah Diuntungkan UU Cipta Kerja, Berikut Penjelasannya

GEBRAK merupakan aliansi yang terdiri dari berbagai organisasi buruh dan elemen lainnya.

Elemen buruh yang terlibat di antaranya ialahKonfederasi Perjuangan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Nasional (KSN),Sentra Gerakan Buruh Nasional (SGBN),Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Serikat Pekerja Sindikasi,Komunikasi Serikat Pekerja Perbankan (JARKOM SP Perbankan), Perempuan Mahardika, PurpleCode Collective.

Baca Juga: Makan Asam Garam di Dunia Hukum, Hotman Paris Temukan Bagian UU Cipta Kerja yang Untungkan Buruh Hingga Ditakuti Pengusaha: Selamat Buat Pekerja!

GEBRAK juga diikuti oleh sejumlah koalisi pemuda, yakni Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI),Jaringan ),Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), SPV,Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi baru (LMND-DN), Federasi Pelajar Jakarta (Fijar), SEMPRO, AKMI, BEM Jentera.

LBH Jakarta dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga turut menjadi bagian GEBRAK. Selain GEBRAK, Aliansi Tolak Omnibus Law (ATOS) yang terdiri dari elemen buruh Dewan Pengurus Pusat Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (DPP PPMI) dan DPP FSPASI juga direncanakan terlibat aksi.

Baca Juga: Hartanya Nggak Bakal Habis 7 Turunan, Jennifer Jill Blak-blakan Ogah Bagi Warisan Buat Suami Berondongnya, Sang Anak Malah Beri Reaksi Mengejutkan

Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) juga akan bergabung dalam aksi di Taman Pandang Depan Istana Negara.

Sementara, aliansi buruh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan tidak akan mengikuti aksi pada hari ini.

Baca Juga: Blak-blakan Ingin Ikut Pilpres 2024, Ternyata Pundi-pundi Harta Gatot Nurmantyo Tambah Gemuk Sebelum Pensiun, Karena Dekat dengan Kepala Naga?

TRIBUNNEWS
HERUDIN

Pengunjukrasa yang berasal dari buruh, mahasiswa, dan pelajar terlibat bentrok dengan polisi saat unjuk rasa di sekitar Patung Kuda Jakarta, Kamis (8/10/2020). Mereka menuntut pemerintah untuk membatalkan UU Cipta Kerja yang dinilai memberatkan pekerja. TRIBUNNEWS/HERUDIN

"KSPI tidak ikut aksi besok. KSPI bersama 32 federasi dan konfederasi serikat buruh akan penyerahan berkas JR (judicial review) ke MK," ujar Said Iqbal, Presiden KSPI saat dikonfirmasi Senin (19/10/2020).

Aksi hari ini juga akan diikuti oleh BEM Seluruh Indonesia (BEM SI).

Baca Juga: Cepat Cek Saldo ATM, Rekening Mendadak Nambah Karena 6 Bantuan Pemerintah Cair di Bulan Ini, Cicilan Hape Kamera Aman

Guna mengawal aksi, pihak kepolisian menerjunkan sebanyak 6.000 personel di sekitar lokasi aksi.

Sebelumnya, demonstrasi serupa telah diselenggarakan di Jakarta sebanyak dua kali, yakni pada Kamis (8/10/2020) dan Selasa (13/10/2020).

Keduanya demonstrasi diwarnai kericuhan. Massa aksi bentrok dengan polisi.

Baca Juga: Siap-siap Subsidi Gaji Gelombang 2 Cair di Bulan Ini, Berikut Jadwal Transfer BLT Rp 600 Ke Rekening

Kompas.com

Demo buruh terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja Omnibus Law

Pengacara kondang Hotman Paris Hutapea kembali buka suara mengenai Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Dia menyoroti terkait pesangon dalam omnibus law.

"Berita bagus untuk para pekerja, berita bagus untuk para buruh. Saya baru membaca draft Undang-undang Cipta Kerja," ucap Hotman, dikutip dari akun Instagram-nya @hotmanparisofficial, Kamis (15/10/2020).

Menurut dia, dalam UU Cipta Kerja terdapat pasal yang menyebutkan, bila pemberi kerja tidak membayar uang pesangon sesuai ketentuan maka akan dianggap telah melakukan tindak pidana kejahatan dan ancaman hukuman empat tahun penjara.

"Pasti majikan kalau di LP (laporan kepolisian), kalau dibuat laporan polisi ke kepolisian mengenai uang pesangon bakal buru-buru membayar uang pesangon," tulis Hotman.

Baca Juga: Diminta Undang DPR Jadi Narasumber Podcastnya, Deddy Corbuzier Malah Sebut Nama Ini Saat Didesak Segera Bahas UU Cipta Kerja, Siapa Ya?

Menurut Hotman, klausul dalam UU Cipta Kerja tersebut merupakan kemajuan yang menguntungkan bagi para pekerja dan buruh.

Pasalnya, selama ini dibutuhkan waktu berbulan-bulan bagi buruh untuk menuntut perusahaan yang tidak membayarkan pesangon.

Baca Juga: Terbongkar, Pakai Baju Hitam Hingga Susupi Demo UU Cipta Kerja, Ini Motif Kelompok Massa yang Sengaja Bikin Rusuh Aksi Buruh

Tribunnews

Demo Buruh menentang Pengesahan RUU Cipta Kerja yang menuai kontroversi

"Tapi, dengan melalui satu laporan polisi, kemungkinan uang pesangon Anda akan dapat. Selamat untuk para buruh dan pekerja," jelas Hotman.

Meski tak menyebutkan draf UU Cipta Kerja mana yang dibacanya, dari penelusuran Kompas.com, Hotman membaca versi draf final yang 812 halaman.

Baca Juga: Mahasiswi Nekat Tenangkan Pedemo di Dekat Istana Negara, Jokowi Malah Blusukan ke Kalimantan, Buruh Meradang: Katanya Presiden dari Rakyat...

Di dalam Pasal 185 ayat (1) UU Cipta Kerja Bab Ketenagakerjaan dijelaskan, barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2) Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (3), Pasal 88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1), atau Pasal 160 ayat (4) bakal dikenai sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 400 juta.

Pada pasal berikutnya dijelaskan, tindak kejahatan yang dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Baca Juga: Terkuak, Sosok Ini Disebut Sebagai Pencetus Omnibus Law UU Cipta Kerja, Tapi Jokowi Malah Blusukan Ke Sini Saat Puncak Demo Buruh

Instagram/@tamarableszynskiofficial

Tamara Bleszynski dan Hotman Paris

Pasal 156 ayat (1) sendiri merupakan pasal yang menjelaskan mengenai kewajiban pengusaha untuk membayar uang pesangon bila terjadi pemutusan hubungan kerja.

Selain pesangon, pengusaha juga diwajibkan untuk membayar uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja.

Hal tersebut berbeda dengan Pasal 185 dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di dalam Pasal 185 undang-undang lama, klausul mengenai kewajiban untuk membayar pesangon tidak termasuk dalam tindak pidana kejahatan.

Sorotan Hotman soal UU Cipta Kerja Sebelumnya, Hotman sempat angkat bicara mengenai polemik pengesahan UU Cipta Kerja.

Baca Juga: Keinginan Jokowi Revisi Aturan Terkabul Lewat UU Cipta Kerja, Seller Jual Gedung DPR dan Isinya Rp 666 di Tokopedia, Begini Respons Manajemen

Hotman mengatakan, berdasarkan pengalamannya puluhan tahun menjadi advokat, permasalahan yang sering dihadapi pekerja atau buruh adalah sulitnya menuntut hak pesangon.

"Terlepas setuju atau tidak omnibus law, dalam 36 tahun pengalaman saya menjadi pengacara. Masalah yang dihadapi buruh adalah dalam menuntut pesangon karena prosedur hukumnya sangat panjang," ucap Hotman dikutip dari akun Instagram resminya, Minggu (11/10/2020).

Baca Juga: Ada 8 Poin Jadi Sorotan Buruh, Ternyata Begini Alasan Jokowi Tantang DPR Ketok Palu UU Cipta Kerja dalam 100 Hari

Instagram @hotmanparisofficial

Unggahan Hotman Paris

Selama ini, banyak kasus perusahaan yang tidak membayarkan hak pesangon sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Namun, pekerja korban PHK dihadapkan pada kondisi sulit karena prosedur menuntut pesangon hingga sampai ke pengadilan bukan perkara gampang.

Tuntutan pesangon hingga ke meja pengadilan sering kali terpaksa ditempuh pekerja korban PHK karena selama ini Kementerian Ketenagakerjaan ataupun Dinas Ketenagakerjaan di daerah umumnya tak banyak membantu menekan perusahaan.

Baca Juga: Pemicu Demo Berujung Rusuh Disebut Bukan Berasal dari Buruh dan Mahasiswa, Download PDF Isi Lengkap Omnibus Law UU Cipta Kerja Di Sini

Di sisi lain, untuk menuntut hak pesangon ke pegadilan, butuh pengacara yang memakan biaya yang tak sedikit. Itu pun belum tentu putusan pengadilan memenangkan pekerja korban PHK.

"Dimulai dengan kalau majikan menolak lalu melalui dewan pengawas Depnaker (Departemen Tenaga Kerja). Depnaker tidak punya power hanya berupa syarat, mau tidak mau si buruh harus ke pengadilan," ungkap Hotman.

Baca Juga: UU Cipta Kerja Disahkan Terburu-buru, 2 Tukang Kritik Jokowi yang Baru Dapat Bintang Jasa Beri Respons Begini: Bisa Salah Resep

"Di pengadilan bisa sampai peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA), bayangkan bayar honor pengacara berapa, bisa-bisa honor pengacara lebih besar daripada pesangonnya," kata dia lagi.

Pemerintah dan DPR melakukan revisi besar-besaran di UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan lewat Omnibus Law Cipta Kerja.

Salah satunya terkait dengan kontrak kerja PKWT dan outsourching.

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah, mengungkapkan ada beberapa keuntungan yang bisa didapatkan para pekerja kontrak dalam UU Cipta Kerja, terutama terkait perlindungan pekerja saat menjadi korban pemutusan hubungan kerja ( PHK).

Baca Juga: Subsidi Gaji Gelombang 2 Cair, Begini Cara Mudah Cara Cek Daftar Penerima BLT Rp 600 Ribu, Bisa Langsung Lewat Hape

Dikatakan Ida, pekerja dengan status kontrak akan mendapatkan kompensasi jika terkena PHK.

Dalam aturan lama di UU Ketenagakerjaan, kompensasi hanya diberikan untuk pekerja yang berstatus karyawan tetap lewat skema pesangon.

"Oh, ada (keuntungan pekerja kontrak di UU Cipta Kerja). Dulu, PKWT itu tidak ada kompensasi kalau berakhir masa kerjanya.

Sekarang, kalau kontrak berakhir, dia mendapat kompensasi," ungkap Ida dikutip dari Harian Kompas, Senin (19/20/2020).

Baca Juga: Siap-siap Subsidi Gaji Gelombang 2 Cair di Bulan Ini, Berikut Jadwal Transfer BLT Rp 600 Ke Rekening

Kompas.com

Menaker Ida Fauziyah saat melakukan video conference dengan perwakilan Korsel.

Dengan kewajiban membayar kompensasi, perusahaan atau pengusaha akan berpikir dua kali untuk memberhentikan karyawan kontrak.

Selama ini banyak kasus perusahaan memecat pekerja kontrak kapan saja, baik karena alasan efisiensi maupun kinerja karyawan yang tak sesuai harapan.

Menurut Ida, dengan adanya kompensasi di UU Cipta Kerja bagi pekerja yang berstatus kontrak PKWT, secara tidak lansung karyawan atau buruh akan mendapatkan perlindungan lebih besar dari negara.

"Pengusaha akhirnya berpikir, mau saya kontrak terus-terusan pun, tetap saja saya harus bayar pesangon. Ini sebenarnya bentuk perlindungan yang tidak kita atur di UU sebelumnya," ucap Ida.

Baca Juga: Makan Asam Garam di Dunia Hukum, Hotman Paris Temukan Bagian UU Cipta Kerja yang Untungkan Buruh Hingga Ditakuti Pengusaha: Selamat Buat Pekerja!

"Pada prinsipnya, RUU ini ingin melindungi semua pekerja. Kelompok pekerja yang eksis, kelompok pencari kerja, dan kelompok pekerja pada sektor UMKM," imbuh dia.

Ia melanjutkan, setelah diberlakukannya UU Cipta Kerja, otomatis hak karyawan kontrak dengan pekerja yang sudah berstatus karyawan tetap akan sama jika menjadi korban PHK.

Baca Juga: Kabar Duka dari Vatikan, 11 Pengawal Paus Fransiskus Positif Corona, Begini Kondisi Terkini Sang Pemimpin Vatikan

Sonora Surabaya/Budi Santoso

Foto: Perwakilan buruh dan pekerja Jatim difasilitasi Gubernur Khofifah bertemu langsung dengan Menkopolhukam Mahfud MD di Jakarta, Rabu (14/10/2020).

"UU Ketenagakerjaan sekarang sudah memberi proteksi yang besar dan proteksi itu diadopsi di RUU Cipta Kerja.

Contohnya, di UU Ketenagakerjaan tidak ada perlindungan bagi pekerja PKWT," ujar politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini.

Baca Juga: Heboh, Prajurit TNI Ini Dipecat Karena Terbukti Suka Sesama Jenis Hingga Bikin Pimpinan TNI AD Murka

"Di RUU ini, perlindungan sosial harus tetap diberikan kepada pekerja PKWT ataupun PKWTT (perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu).

Jadi, mereka punya hak dasar yang sama dengan pekerja tetap untuk mendapatkan jaminan sosial, pengaturan uang lembur, dan jam kerja yang sama," kata dia lagi.

Ida lalu menjelaskan soal batasan kontrak PKWT yang dihapus di UU Cipta Kerja.

Pemerintah beralasan dihapuskannya Pasal 59 yang mengatur batas waktu karena UU Cipta Kerja menganut fleksibilitas. Hal itu juga sudah lazim diterapkan di negara lain.

Baca Juga: Anak Buahnya Dituduh Cuma Akting Usai Kritik UU Cipta Kerja, Prabowo Subianto Ungkap Alasannya Enggan Buru-buru Komentari Omnibus Law

"Kita belajar dari beberapa negara. Jika hal itu diatur di undang-undang, tidak akan ada fleksibilitas pengaturan.

Persoalan ini tidak sederhana ketika dinamika tenaga kerja tinggi," kata Ida.

Ia menuturkan, soal batas waktu PKWT pekerja kontrak masih akan dibahas lagi dalam aturan turunan.

Aturan batasan waktu kontrak kerja hingga maksimal 3 tahun dinilai kurang fleksibel.

"Kami sudah sepakat bersama teman-teman di forum tripartit (pemerintah, pengusaha, dan buruh), hal ini akan dibicarakan dalam perumusan peraturan pemerintah (PP). Jadi, tidak diisi sendiri oleh pemerintah," ujar dia.

Sebagai informasi, dalam pasal UU Nomor 13 Tahun 2003 yang direvisi UU Cipta Kerja, secara eksplisit mengatur PKWT.

Baca Juga: Ditangkap dengan Tuduhan Pelanggaran UU ITE, Ternyata Petinggi KAMI Syahganda Nainggolan Pernah Dituding Miliki Akun Pembongkar Kasus Korupsi Pejabat

PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha atau perusahaan untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk jenis pekerjaan tertentu.

Dalam perjanjian PKWT juga mengatur kedudukan atau jabatan, gaji atau upah pekerja, tunjangan serta fasilitas apa yang didapat pekerja dan hal-hal lain yang bersifat mengatur hubungan kerja secara pribadi.

Baca Juga: Lama Bungkam Soal Omnibus Law Hingga Bikin Penasaran, Prabowo Subianto Akhirnya Mau Tanggapi UU Cipta Kerja: Saya Paham Kesulitan Buruh

Perusahaan hanya bisa melakukan kontrak kerja perjanjian PKWT paling lama 3 tahun.

Setelah itu, perusahaan diwajibkan untuk mengangkat pekerja atau buruh sebagai karyawan tetap jika ingin mempekerjakannya setelah lewat masa 3 tahun.

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma