Maka, dalam hal ini, pernyataan Fahri Hamzah menemukan contoh faktualnya. Politisi Senayan kelihatan blo’onnya. Kasus Ferdy Sambo menjadi kasus besar, karena publik dan media terus membicarakannya. Dan kemudian terbukti menguak motif dan kasus kasus besar di baliknya.
Belakangan anggota dewan sendiri, menyatakan, publik dibohongi oleh polisi – “bahkan dengan siaran resmi ternyata isinya (Polri) membohongi” akuinya.
Sengaja saya tak menyebut nama nama mereka, karena tak berguna juga. Tak masuk standard untuk dibahas namanya. Semua yang bicara mencoba mencari cari kesalahan Ketua Ex Officio Kompolnas dan gagal.
Profesor Doktor yang ahli hukum tata negara itu memang bukan lawan dan tandingan mereka.
Desertasi Mahfud MD adalah politik hukum – yaitu menggunakan politik, agar hukum bekerja. “Hukum itu produk politik – harus didorong oleh politik – tidak bisa jalan sendiri, " kata Mahfud MD.
Ketika ditantang agar Kompolnas dibubarkan saja, Mahfud MD dengan lantang menyebut, “Silakan 'kan (Kompolnas) bapak yang bikin?” Ujungnya dia nyerah juga.
Mahfud MD menyebut, dia sudah berhenti bicara kasus Sambo. Tapi media memutar berulang ulang.
Sekelas anggota dewan tak paham mana pernyataan lama atau pernyataan baru, karena memang kurang update dnan tak menguasai masalah. Jadinya terkesan asal mangap.
Ada lagi, anggota dewan yang minta agar motifnya dibuka saja ? Jangan ditambah bumbu, seperti hanya "layak untuk konsumsi dewasa dan menjijikan". Juga memaksa menyebut nama jendral bintang III yang mengundurkan diri. Padahal bukan itu subtansinya. Bahwa ada semangat di dalam kubu Polri sendiri agar kasus itu dibuka, sesuai arahan presiden dan desakan publik.
Ada anggota yang paham, ada yang tetap bingung. Seperti kata Fahmi Hamzah, mereka yang duduk di Senayan, memang banyak "yang rada blo'on".