Soekarno yang diasingkan tak bisa berbuat banyak. Sementara Soeharto mendapat kekuasaan yang semakin besar.
Dikutip dari Hari-hari Yang Panjang: Transisi Orde Lama Ke Orde Baru, Sebuah Memoar (2008), dualisme kepemimpinan memunculkan polarisasi.
Ada yang setuju dengan Soeharto untuk membubarkan. Namun ada juga yang masih setia kepada Soekarno.
Soekarno terdesak
Memasuki pertengahan 1966, masalah dualisme kepemimpinan nasional makin terasa.
Soekarno tidak lagi bisa mencabut Supersemar ketika MPRS memutuskannya sebagai TAP MPRS Nomor IX/1966 pada 21 Juni 1966.
Saat itu, MPRS mencabut Soekarno sebagai presiden seumur hidup sekaligus memberi kewenangan Soeharto sebagai pengemban Supersemar untuk membentuk kabinet pada 5 Juli 1966.
Pada 22 Juni 1966, Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawaban di Sidang MPRS.
Soekarno dianggap mengecewakan. Dalam pidato itu, Soekarno bersikeras tidak mau membubarkan PKI.
Pidato yang dikenal sebagai Nawaksara ini ditolak oleh MPRS. Kemudian pada 10 Januari 1967, Soekarno mengirim surat kepada Ketua MPRS Jenderal AH Nasution.