Fotokita.net - Kapal Coast Guard lagi-lagi bikin ulah, ngotot ogah pergi dari Laut Natuna Utara, Indonesia konsisten tolak proposal Tiongkok.
Indonesia terus menunjukkan sikap konsisten dalam pusaran konflik Laut China Selatan, dengan pusat perhatian pada China.
Dalam konflik wilayah dan teritorial Laut China Selatan, Tiongkok dianggap telah menabrak garis sah dari sejumlah negara. Akibatnya, ada banyak negara yang berkonflik dengan China.
Tetapi Indonesia tidak termasuk di antaranya. Ini dikarenakan Indonesia punya hak. Khususnya yang berkaitan dengan Pulau Natuna.
Dengan begitu, Beijing tak berhak ikut campur di atas wilayah Pulau Natuna, yang mencakup Laut Natuna Utara.
Kendati demikian arogansi China atas Laut China Selatan tak pernah habis.
Proposal pembangunan bahkan masih terus diajukan demi memperlancar agendanya.
Dikutip Sosok.ID dari The Interpreter pada Senin (31/8/2020), “pembangunan bersama” jelas merupakan istilah yang salah ketika China tidak memiliki saham legal di wilayah Indonesia.
Indonesia telah lama memperjelas posisinya sebagai negara non-penggugat di Laut China Selatan, dengan menyatakan kepentingan utamanya dalam perselisihan tersebut adalah untuk menjaga perdamaian dan keamanan di wilayah tersebut dengan bertindak sebagai perantara yang jujur.
Namun hal ini tidak menghentikan China untuk berusaha menjerat Indonesia dalam visinya sendiri untuk Laut China Selatan.
China telah mengajukan beberapa proposal pembangunan bersama di Laut China Selatan sejak 2017, terutama ditujukan ke Filipina dan Vietnam.
Tapi Indonesia juga jadi unggulan.
China mengusulkan pembentukan Spratly Resource Management Authority (SRMA), dengan keanggotaan tidak hanya dari negara penuntut yang bersengketa, yaitu Brunei, China, Malaysia, Vietnam, dan Filipina, tetapi juga Indonesia.
Huaigao Qi dari Universitas Fudan berpendapat dalam sebuah artikel yang diterbitkan tahun lalu di Journal of Contemporary East Asian Studies bahwa tujuan China adalah memainkan peran konstruktif dalam mempromosikan wilayah yang damai dan stabil.
Serta mengembangkan hubungan baik dengan negara-negara pesisir lainnya dan mengurangi China- Persaingan AS di wilayah yang disengketakan.
Namun dengan mengajukan Indonesia bergabung dengan SRMA, tampaknya Beijing belum mendengar pesan dari Jakarta.
Penerbitan serangkaian catatan diplomatik antara kedua negara baru-baru ini membuat jelas Indonesia waspada terhadap niat China, dan memang demikian.
Indonesia tidak boleh melibatkan proposal apa pun dari Beijing terkait dengan pembangunan bersama di Laut China Selatan.
Posisi Indonesia jelas bahwa ia bukan penggugat atas fitur apa pun di Laut China Selatan, sehingga tidak ada batasan maritim yang tertunda dengan China.
Meskipun demikian, China secara sepihak bersikeras bahwa zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia dan landas kontinen di lepas pantai Pulau Natuna tumpang tindih dengan klaim China yang disebut "sembilan garis putus-putus".
Indonesia secara konsisten menolak klaim China.
Putusan pengadilan internasional tahun 2016, yang menegaskan bahwa "garis sembilan garis putus-putus" China tidak memiliki dasar hukum internasional yang mendukung posisi Indonesia.
Untuk alasan ini saja, tidak ada dasar bagi Indonesia untuk bergabung dalam perjanjian pembangunan apapun dengan China.
Namun lebih dari itu, untuk menciptakan pembangunan bersama di wilayah yang disengketakan, China diharuskan memiliki klaim yang sah berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Bekerja sama dengan China sama saja dengan memvalidasi klaim Laut China Selatan, sebuah langkah yang akan sepenuhnya bertentangan dengan kepentingan Indonesia.
China tidak pernah menanggapi permintaan diplomatik Indonesia yang meminta klarifikasi melalui sembilan garis putus-putus.
Dalam artikelnya, Huaigao menulis bahwa Beijing sengaja mempertahankan ambiguitas tentang koordinat dan dasar hukum dari garis putus-sembilan dalam upaya untuk menghindari eskalasi dalam sengketa dan menjaga hubungan dengan penuntut ASEAN.
Ini tampaknya interpretasi yang murah hati, bahkan jika dia mengakui bahwa jika China mengambil tindakan militer lebih lanjut di wilayah yang disengketakan, hubungannya dengan penuntut ASEAN akan memburuk.
Baca Juga: Geger di Medsos, Anak Muda Indonesia Dapat Uang Rp 90 Juta Gegara Editan Fotonya
Tidak ada alasan untuk mengharapkan kebijakan ini agar sembilan garis putus-putus akan segera berubah.
Dan selama masih ada ambiguitas tersebut, tidak ada kemungkinan itikad baik dari China dalam menegosiasikan usulan pembangunan bersama dengan Indonesia.
Berdasarkan hukum internasional, Indonesia berhak atas hak berdaulat atas ZEE-nya di perairan sekitar Pulau Natuna, dan berhak atas sumber daya yang ada di daerah tersebut.
Jika Indonesia menyetujui proposal pembangunan bersama di bawah SRMA, kemungkinan besar Indonesia akan kehilangan hak kedaulatannya di dalam ZEE ini karena akan ada "Otoritas Manajemen Sumber Daya" untuk mengatur eksplorasi wilayah pengembangan bersama.
Setelah serangkaian insiden dengan China di Laut Natuna Utara dalam beberapa tahun terakhir, Presiden Joko Widodo memperkuat posisi Indonesia di kawasan ini dengan fokus pada tiga program utama: wisata bahari, energi, dan pertahanan.
Jakarta lebih baik fokus mengembangkan Kepulauan Natuna sendiri, daripada bergabung dengan China.
Perilaku Tiongkok dalam mengawal kapal penangkap ikan ilegal ke ZEE Indonesia di Natuna sering meningkat seiring dengan meningkatnya penegakan hukum di Indonesia.
Publik Indonesia semakin melihat China sebagai ancaman.
Jika pemerintah berbalik dan tiba-tiba memulai pembangunan bersama dengan Beijing di daerah tersebut, kemungkinan besar pertentangan yang meluas bakal digaungkan.
Baca Juga: Disebut Yang Mulia, Donald Trump Bangga Kim Jong Un Bocorkan Cara Eksekusi Pamannya Sendiri
Salah satu alasan ini saja akan menimbulkan pertanyaan mengenai kearifan Indonesia dalam mengupayakan pembangunan bersama di Laut China Selatan atau Laut Natuna Utara.
Secara keseluruhan, RI jelas alasan untuk menolaknya.
Sementara Indonesia terus konsisten menolak proposal China terkait Laut China Selatan, kapal coast guard China kembali bertingkah.
Badan Keamanan Laut RI (Bakamla) mengusir kapal coast guard China di wilayah yurisdiksi Indonesia.
Kapal coast guard China tersebut terdeteksi di ZEEI Laut Natuna Utara pada Sabtu (12/09/2020) pukul 10.00 WIB.
Kapal coast guard China dengan nomor lambung 5204 bersikeras mereka sedang berada di area nine dash line yang merupakan wilayah teritorial China.
Padahal berdasarkan UNCLOS 1982 tidak diakui keberadaan nine dash line, dan kapal coast guard China 5204 sedang berada di area ZEEI.
Oleh sebab itu, KN Nipah 321 mengusir kapal penjaga China tersebut.
Namun hingga berita ini diturunkan, KN Nipah 321 masih berupaya menghalau CCG 5204 keluar dari ZEEI.
Berdasarkan rilis Bakamla RI, mereka sedang berkoordinasi dengan Kemenkopolhukam dan Kemenlu terkait hal ini.
Sebagai informasi, KN Nipah 321 adalah salah satu unsur Bakamla RI yang sedang melaksanakan operasi cegah tangkal 2020 di wilayah zona maritim barat Bakamla.
Operasi yang dilepas pada 4 September lalu di dermaga JICT Tanjung Priok oleh Kepala Bakamla RI, Laksdya TNI Aan Kurnia, ini rencana akan digelar hingga akhir November 2020.
(SosokID/Rifka Amalia/Kompas.com)