“Pidato radio itu sukses besar,” ungkapnya. “Aku sangat terharu ketika mendengar suara Bung Karno yang berat dan penuh perasaan membaca naskahku.”
Hari itu pun Soekarno memanggil Tantri untuk datang ke Istana. Perempuan itu datang dengan busana kebaya dengan lengan berbalut merah-putih. Dia tercengang menyaksikan Soekarno yang tidak berseragam khaki atau setelan serba putih, melainkan bersarung dengan jas pendek dan mengenakan kopiah sebagai tutup kepalanya. “Kurasa selama ini belum ada orang kulit putih yang pernah melihatnya memakai sarung,” ungkap Tantri. “Kelihatannya tampan sekali!”
Soekarno memuji Tantri yang tampak luwes berbusana Jawa karena tubuhnya yang kecil, demikian menurut pengakuan Tantri. “Aku lantas teringat bahwa ia terkenal pandai mengambil hati kaum wanita [...],” ungkapnya. “Kini aku percaya pada kabar itu.”

Ktut Tantri memiliki selusin lebih nama julukan, sebagian digunakannya saat siaran radio pemberontakan.
Kisah sejarah kecil tersebut diungkapkan oleh K’tut Tantri dalam otobiografinya, Revolt in Paradise, yang terbit pertama kali di New York pada 1960. Buku ini juga pernah diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dengan judul Revolusi di Nusa Damai pada 1982 dan 2006.
Tantri tinggal di Indonesia selama 15 tahun, 1932-1947. Awalnya tinggal di Bali, kemudian turut bergerilya bersama Bung Tomo dan pejuang lainnya. Dia menjadi seorang penyiar dalam siaran radio republik, Voice of Free Indonesia. Barangkali jiwa petualangan Tantri diturunkan oleh leluhurnya yang berasal dari Viking yang dikenal pemberani—dan nekat.
“Saya berusaha memaparkan cita-cita bangsa Indonesia pada seluruh rakyat di dunia—yaitu kemerdekaan, hak untuk membangun negara sendiri,” tulisnya dalam buku itu. “Saya juga ingin menandaskan pada Belanda—dan sedikit banyak kepada Inggris—mengenai kesalahan besar yang mereka lakukan selama ini.”
Tantri mengutip sebuah surat kabar yang sohor di pesisir timur Amerika Serikat yang menulis tentang dirinya. “Sulit sekali membayangkan K’tut Tantri yang dilahirkan di Skotlandia meninggalkan negeri dengan tingkat kehidupan tertinggi di dunia dan menjadi orang Indonesia dalam wujud internasional.”
Selanjutnya sang wartawan Amerika itu menulis, “Sulit rasanya membayangkan hal itu—tetapi mungkin saja ia sudah jauh lebih maju dari kita semua dalam menerapkan makna kata internasional.” (Mahandis Yoanata/Nationalgeographic.co.id)