"Masalah reorganisasi, di antaranya ada wakil panglima TNI. Diharapkan, wakil penglima TNI itu, kalau tidak ada panglima TNI, dia bisa action," kata Moeldoko di Istana Kepresidenan, 17 Maret 2015 silam.
Namun rencana itu penambahan jabatan itu justru dipertanyakan. Pasalnya, posisi wakil panglima TNI dinilai tidak diwajibkan di dalam undang-undang.
Selain itu, dalam hal kegiatan operasional, panglima TNI juga sudah dibantu oleh beberapa asisten dan kepala staf. Bahkan, penambahan jabatan tersebut dinilai berpotensi menimbulkan tumpang tindih di dalam institusi TNI.
"Mubazir posisi wakil panglima TNI, malah berpotensi tumpang tindih tupoksi, tidak efektif dan efisien organisasinya," kata mantan Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq, pada 18 Maret 2015.
Tak selang berapa lama, Moeldoko kemudian melayangkan konsep keputusan presiden kepada Jokowi.
Saat itu, ia meyakini, bila pada pertengahan tahun jabatan tersebut segera terisi.
Namun, pada saat bersamaan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) yang saat itu masih dijabat Tedjo Edhy Purdijatno menilai, belum ada urgensi untuk menambah jabatan baru di tubuh TNI.
Memang, sebelumnya Tedjo sempat mempertimbangkan keberadaan wakil panglima. Namun setelah dikaji dan dianalisis efektivitasnya, jabatan tersebut belum terlalu penting untuk dibentuk.