Hendropriyono setidaknya terlibat dalam operasi penumpasan pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) yang terbentuk di masa konfrontasi Ganyang Malaysia (1963-1966) oleh intelijen Indonesia pada era Presiden Soekarno.
"Ini kami (TNI) melatih Tentara Nasional Kalimantan Utara dan PGRS di Surabaya, Bogor dan Bandung. Akhirnya setelah pergantian pemerintah, Presiden Soeharto memutuskan berdamai dengan Malaysia dan gerilyawan tersebut diminta meletakkan senjata," kata Hendropriyono, sebagaimana dilansir dari buku Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran, Sejak Nusantara Sampai Indonesia (2014) karya Iwan Santosa.
"Karena PGRS tidak menyerah, terpaksa kami sebagai guru harus menghadapi murid dengan bertempur di hutan rimba Kalimantan," ujar Hendropriyono.
Tugas pasukan Sandi Yudha ini dalam perang konvensional tak terikat hukum internasional dan hukum humaniter perang. Fokus penugasan dengan mengambil hati lawan.

Para personil Kopassus saat Operasi Seroja
Opsi pertempuran dan tindakan keras hanya pilihan terakhir. Hendropriyono memimpin suatu unit berisi delapan orang yang bergerak dalam jumlah kecil. Mereka saat itu berupaya mendekat ke arah gubuk Hassan, seorang komandan PGRS.
Peristiwa itu berlangsung semalaman dan senyap. Salah satu pasukan Sandi Yudha harus membunuh penjaga gubuk yang memegang senjata api dengan sangkur.
Setelah berhasil mendekat, Hendropriyono meminta Hassan menyerah. Namun Hassan pun melawan. Pertempuran jarak dekat satu lawan satu pun terjadi.
Hendropriyono berhasil menaklukkan Hassan, dalam pertempuran jarak dekat, meski paha dan jarinya sempat luka karena serangan sangkur Hassan.

Ilustrasi Pasukan Baret Merah Kopassus