Fotokita.net -Pada awalnya, sekitar tahun 1960, rezim Orde Lama di bawah pimpinan Presiden Soekarno bersama Presiden Filipina Diosdado Macapagal mengkritik pembentukan Malaysia yang dianggap permainan neo-kolonialisme Inggris.
Saat itu, Macapagal sempat menyarankan pembentukan Maphilindo, sejenis federasi Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Sebab, Macapagal menilai ada kesamaan kultural Melayu di tiga negara ini.
Namun, Soekarno lebih memilih berkonfrontasi langsung dalam perang tidak resmi menghadapi Malaysia dan Persemakmuran Inggris. Perang itu berlangsung sengit di rimba Kalimantan, terutama di perbatasan Kalimantan Barat-Kalimantan Timur.

Serbuan secara mendadak menjadi ciri khas Kopassus dalam operasi militer.
Peristiwa itu direkam oleh Nick van Der Bijl dalam Konfrontasi, War With Indonesia (1963-1966). Nick menilai pasukan relawan, TNI, dan pasukan PGRS-Paraku mampu menghantam pasukan Gurkha dan SAS.
Situasi politik pun berubah, dan menempatkan TNI harus melucuti bekas muridnya. Seusai peristiwa Mangkok Merah akhir tahun 1967 yang merupakan kerusuhan masyarakat Dayak-Tionghoa, Abdullah Mahmud Hendropriyono yang saat itu berpangkat Letnan Satu (Inf) mendapat tugas untuk bergerilya melawan bekas sekutu TNI itu.
Kemudian, terbentuklah Sandi Yudha, satuan intelijen tempur dari Resimen Para Komando Angkatan Darat, yang saat ini dikenal sebagai Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Sebagian anggota PGRS-Paraku ini adalah pemuda Tionghoa. Ada pula suku Dayak, Melayu, Jawa dan lain-lain.

Hendropriyono
Perjalanan sosok Abdullah Mahmud Hendropriyono sebagai serdadu tak lepas dari pengalamannya bertahun-tahun di lapangan, termasuk sebagai anggota pasukan elite TNI.